Pergantian presiden memang tinggal 2 bulan ke depan. Adapun proses transisi kepemimpinan nasional pada kali ini, nampaknya akan memberikan warna yang berbeda dibandingkan dengan pergantian presiden sebelumnya. Apabila tidak ada aral melintang, untuk pertama kalinya dalam sejarah kepemimpinan Indonesia akan berlangsung serah terima jabatan presiden dalam sebuah upacara kehormatan.
Itu semua adalah sebuah keprihatinan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang selama ini melihat presiden di Indonesia itu seolah datang dan pergi begitu saja. Pergantian presiden yang tidak pernah diwarnai dengan inaugurasi di mana presiden lama menyambut penggantinya secara terhormat, demikian juga sebaliknya presiden yang lama dilepas secara terhormat.
Walaupun hal ini akan bersifat seremonial, akan tetapi hal ini sangat penting karena sebagai symbol dari kesinambungan pemerintahan serta potret keharmonisan dan kekompakan antara presiden yang lama dengan presiden yang baru. Bagi rakyat, tentu seremoni semacam ini menjadi sinyal positif adanya dukungan penuh terhadap presiden dan pemerintahan yang baru. Akan tetapi, Presiden SBY tidak hanya sekedar merancang sebuah seremonia semata, akan tetapi beliau merancang lebih dari itu, beliau juga menegaskan kesediaan dan kesiapannya untuk membantu presiden terpilih, yang akan dilantik dan mulai bekerja pada 20 Oktober 2014 nanti. Hal itu, dianggap sebagai sebuah tanggung jawab moral seorang mantan presiden dan warga negara, yang sama-sama terpanggil untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Kita tentu sangat mengapresiasi rencana dan kesediaan Presiden SBY tersebut, sebab, seorang presiden dituntut untuk menjadi seorang negarawan. Dia harus mampu melepaskan ikatan politikny, dengan menyerahkan hidupnya sebagai milik seluruh rakyat Indonesia. Dalam posisi ini, seorang presiden tentunya tidak boleh egois, dengan menganggap apa yang telah dicapai selama memerintah adalah prestasi serta hasil jerih payah nya sendiri semata, tanpa perlu mewariskan hal-hal yang baik kepada penerusnya.
Hakikat dari seorang negarawan adalah berpikir dan bertindak untuk bangsa ini dalam jangka panjang demi kepentingan dan kemaslahatan generasi mendatang. Sebaliknya, seorang presiden bukanlah politisi, yang hanya berpikir dan bertindak untuk kepentingan politiknya. Dengan kata lain, seorang negarawan berpikir untuk next generation, sedangkan politisi berpikir untuk next election.
Seperti kita ketahui, bahwa dalam sejarah pergantian presiden di negara kita tidak pernah berlangsung dalam suasana yang damai. Justru sebaliknya, selalu diwarnai dengan situasi konflik. Sebut saja dengan pergantian Presiden Soekarno ke Soeharto pada tahun 1967, disusul dengan Soeharto ke BJ Habibie tahun 1998, Habibie ke KH Abdurrahman Wahid pada tahun 2001, dan yang terakhir dari Megawati ke SBY pada tahun 2004, rakyat Indonesia tidak melihat ada sebuah inagurasi serah terima jabatan. Masyarakat juga selalu disuguhi absennya presiden lama dalam upacara pelantikan presiden baru. Lebih dari itu, masyarakat tak jarang malah disuguhi dengan sebuah ekspresi kebencian, dendam dan luka.
Hal ini tentu tidak sehat dan tidak layak dipertontonkan di atas panggung kepemimpinan nasional. Siapun dia yang berada di tampuk kepemimpinan nasional hendaknya harus berbesar hati dan memberikan sinyal positif serta memelihara suasana psikologi politik yang yang konstruktif kepada masyarakat, demi terselenggaranya pemerintahan dan pembangunan di masa depan secara lebih baik.
Oleh sebab itu, tentunya kita berharap bahwa pergantian presiden kali ini akan menjadi momentum lahirnya sebuah tradisi baru. Sebuah tradisi yang mempertontonkan semangat saling menghormati dan menghargai, tradisi yang mampu melepaskan dinding-dinding politik dan kepentingan, serta tradisi yang akan membuat persatuan dan ikatan kita sebagai suatu bangsa yang semakin kokoh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H