Mohon tunggu...
Uci Junaedi
Uci Junaedi Mohon Tunggu... Administrasi - SocialMedia

Social Media Businnes Service

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sudah Bermartabatkah Sawit Kita?

18 Februari 2016   09:38 Diperbarui: 18 Februari 2016   10:02 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="doc pribadi"][/caption]

Indonesia saat ini memang sebagai penghasil Crude palm (CPO) terbesar di dunia, maka dari itu Indonesia tidak perlu lagi menuruti aturan standar harga yang telah ditentukan asing dalam perjanjian Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) karena dalam hal ini Indonesia telah mempunyai standar harga tersendiri dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Perkebunan, Kementrian Pertanian Bapak Gamal Nasir dalam acara talkshow yang bertema “Bermartabatkan sawit kita?”  di Aston Jakarta (17/02/2016).

[caption caption="doc pribadi"]

[/caption]

Pada kesempatan itu juga bapak Gamal Nasir sangat menyayangkan kepada perusahaan besar yang ikut menandatangani perjanjian Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP), hal ini disebabkan karena dalam perjanjian itu banyak aturan yang tentunya akan membebani petani sawit nasional, yang hampir luas areal perkebunan sawit itu sekitar 10,5 juta hektar dimiliki oleh petani swadaya. Lebih lanjut Gamal Nasir juga mengatakan bahwa perusahaan yang tergabung dalam IPOP harus mengikuti aturan yang telah diperjanjiankan, misalnya saja aturan larangan dalam menanam sawit di lahan gambut atau lahan marjinal, kalau ke -5 perusahaan yang tergabung dalam IPOP itu benar-benar menolak TBS milik petani karena telah melanggaran aturan dari IPOP, maka hal ini sudah jelas akan menyengsarakan petani nasional. “Artinya jika perjanjian tersebut dilaksanakan maka petani kelapa sawitlah yang akan terkena dampaknya”

Hal yang dikatakan Gamal Nasir tersebut selaras dengan apa yang dikatakan Firman Subagyo, Anggota Komisi IV DPR RI, menyatakan bahwa sangat disayangkan sekali perusahaan Nasional yang ikut tergabung dalam IPOP, sebab hal ini telah melanggar konstitusi kita  yaitu pada Pasal 33 ayat 3 dijelaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya  untuk kemakmuran rakyat. Kemudian pada ayat 4 bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

[caption caption="doc pribadi"]

[/caption]

Dari bunyi konstitusi tersebut di atas jelas bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara untuk itu Firman meminta semua pihak untuk lebih mementingkan kepentingan nasional dibandingkan kepentingan asing. Apabila petani sawit kita tidak bisa memasok tandan buah segar (TBS) ke perusahaan untuk di olah berarti perusahaan tersebut sudah tidak mendukung kemakmuran rakyat seperti yang telah diamanatkan konstitusi Pasal 33 ayat 3 dan 4.

Untuk itu Firman Subagyo sebagai Anggota DPR RI Komisi IV menyatakan dengan tegas bahwa menolak dengan keberadaan IPOP hal ini didasarkan karena kelapa sawit merupakan komoditas strategis yang mempunyai kontribusi ekspor nomor 2 tersebsar setalh migas dengan nilai Rp 240 triliun pertahun, industri kelapa sawit nasional juga dapat menyerap tenaga kerja lebih besar dari migas, lebih tegas Firman Subagyo mengatakan bahwa IPOP termasuk bentuk pelanggaran undang-=undang hal ini didasarkan karena akan berpotensi terjadinya monopoli terselebung.

Berdasarkan tersebut, saya berharap pemerintah dan DPR sebagai pembuat kebijakan dapat membuat regulasi yang baik untuk kemakmuran petani sawit ini sehingga bisa meminimliasir dampak negatif dari IPOP, serta Kadin sebagai wadah dari para pengusaha untuk tetap mengedepankan nasionalisme, kemakmuran rakyat dan kemajuan nasional perlu di kedepankan dibandingkan dengan keuntungan hanya untuk segelintir orang saja apalagi untuk keuntungan asing.

Jakarta, 18 Februari 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun