Mohon tunggu...
Uci Junaedi
Uci Junaedi Mohon Tunggu... Administrasi - SocialMedia

Social Media Businnes Service

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fatwa MUI tentang Pemimpin yang Ingkar Janji

13 Agustus 2015   12:44 Diperbarui: 13 Agustus 2015   13:13 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

[caption caption="sumber gambar : www.antaranews.com"][/caption]

Beberapa hari yang lalu Indonesia diramaikan dengan isu pemerintahan Jokowi ingin memunculkan kembali pasal mengenai penghinaan terhdap presiden. Isu ini sangat menyita perhatian masyarakat sehingga hampri di setiap headline media online, cetak maupun televise membahas mengenai hal ini dan melupakan bahwa ada isu yang lebih sensitive yang perlu mendapatkan pengawalan media seperti terpuruknya nilai rupiah terhdap dolar amera serikat, mahalnya harga daging sapid an masih banyak lagi isu yang perlu diselesaikan dengan cepat oleh pemerintah.

Di saat itu juga, banyak juga beberapa tokoh yang menginginkan bahwa silahkan saja pasal penghinaan presiden itu dimunculkan kembali di dalam UU akan tetapi harus ada pembandingnya yaitu dimunculkan juga pasal mengenai bagaimana apabila presiden itu ingkar akan janjinya. Dari beberpa polemik tersebut kemudian Komisi Fatwa MUI hasil ijtima’ Ulama se-Indonesia bersepakat , bahwa siapapun calon pemimpin yang berjanji tanpa menepati janjinya adalah perbuatan zhalim, perbuatan munafik dan berdosa besar. Hal ini sesuai dalil Firman Allah SWT, "Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya." (QS al-Isra': 34).

Bagaimana pandangan Islam mengenai janji. Di dalam Al-Quran Allah SWT memerintahkan setiap muslim agar menunaikan janji yang pernah diucapkannya. “Dan, tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. An-Nahl: 91). Seruan menepati janji pada ayat tersebut bersifat wajib. Dengan kata lain, orang yang tidak menepati janji tanpa disertai oleh alasan-alasan yang dibolehkan syariat akan mendapatkan dosa. Bahkan, dua dosa. Pertama, dosa terhadap orang yang telah kita berikan sebuah janji yang tidak ditepati. Hatinya akan terluka. Kedua, dosa kita kepada Allah yang menjadi saksi penjanjian antara kita dan orang lain. Orang beriman selalu menepati janji. Karena begitu kharakter seorang muslim yang Allah paparkan di dalam Al-Quran. “Beruntunglah orang-orang beriman, yaitu … orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.” (QS. Al-Mu`minûn: 1-6). Sebaliknya, mengingkari janji adalah sifat syaitan. “Padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS. An-Nisâ: 120). Bahkan, di dalam hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Amru, Rasulullah SAW bersabda: “Empat hal yang ada dalam diri orang munafik … apabila ia berjanji, maka ia ingkari“.

Sebuah ikatan yang tak bisa dipermainkan. Orang yang berjanji akan diikat oleh janjinya selama belum ditunaikan. Inilah alasannya dalam Islam mencela setiap calon pemimpin publik baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang mengobral janji saat kampanye tanpa bermaksud untuk menepatinya.  Menurut Drs H Amidhan Pimpinan sidang pleno IV Ijtima Ulama mengatakan, ciri munafik yang dikategorikan sebagai golongan paling jahat dalam Islam ada empat. Seperti bunyi hadis, "Apabila diberi amanat berkhianat, apabila berkata dusta, jika berjanji mengingkari, dan jika berseteru curang." (HR Bukhari). Selain itu, pemimpin pendusta merupakan golongan yang paling keras siksanya pada hari kiamat. Berpedoman kepada hadis, "Ada tiga golongan yang tidak dilihat Allah SWT di hari kiamat, mereka tidak dirahmati, tidak diampuni dosanya, dan bagi mereka azab teramat pedih. Pemimpin yang pendusta, tua bangka yang berzina, dan orang miskin yang sombong." (HR Abu Daud).

Drs. H. Amidhan kemudian menyebutkan hasil putusan Ijtima’ Ulama yaitu sebagai berikut : "Setiap pemimpin wajib menjalankan sumpah jabatan, amanah, dan janji yang telah diamanahkan kepadanya. Terkecuali ada uzur syar'i yang menyebabkan ia tidak dapat menjalankan amanah tersebut,". ijtima’ itu juga telah menyepakati haramnya perbuatan pemimpin yang mengingkari janjinya. Terkecuali memang ada uzur syar'i yang menyebabkan ia tidak mampu menunaikan amanah tersebut.

Kemudian Anggota Komisi Fatwa MUI pusat, Dr KH Abdul Aziz Musthafa Dahlan Abdul Latif MA, mengenai ketaatan kepada pemimpin yang ingkar janji sudah melakukan kezhaliman sangat besar akan tetapi wajib hukumnya bagi kita juga untuk mentaati pemimpin tersebut  "Taat kepada pemimpin Muslim, meskipun mengingkari janji kampanyenya (pemimpin fasik, jahat, dan zalim) selagi yang diperintahkannya adalah perkara yang ma'ruf tidak bertentangan dengan agama, maka hukum mentaatinya adalah wajib,"

Maka dari fatwa tersebut sudah seharusnya seorang pemimpin yang tidak menepati janji kampanye nya sebagai tindakan ingkar, saya berharap fatwa MUI ini bisa dimasukan ke dalam undang-undang sehingga bukan hanya sanksi moral akan tetapi ada sanksi masyarakat, serta politik bagi pemimpin yang ingkar akan janji kampanyenya.

Salam Kompasiana

sumber : 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun