Mohon tunggu...
Yusi Nur Apriyani
Yusi Nur Apriyani Mohon Tunggu... -

Pelajar SMA di daerah Purwakarta, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Diam

26 Juni 2011   17:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:09 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diam bisa berarti banyak.

Diamnya aku itu berpikir.

Berpikir bagaimana cara aku menyapa dalam sebuah kecanggungan yang kadang terjadi. Ya hal ini bukan terjadi kali ini saja. Pernah, beberapa kali. Kau, ah tidak kalian. Hati ini sedang merasa sakit di ulunya. Tapi ku coba untuk meredamnya, karena kini aku sedang diam untuk berpikir bagaimana caranya aku dan kalian bisa saling bicara.

Diamnya aku itu menangis.

Ya, tak ada air mata memang. Karena aku tak bisa mengeluarkannya disini. Disaat orang-orang bahagia dan aku malah merasa sendiri. Kalian abaikanku, bahkan kalian tak coba cari aku. Padahal aku disini menunggu.

Diamnya aku itu menunggu.

Menunggu kalian yang pertama sapa aku. Mengajakku dalam satu obrolan hangat di hari yang dingin itu. Ya aku menunggu kalian menghampiriku. Merangkulku dalam pelukan yang hangat dalam kesendirian yang tak biasa.

Diamnya aku itu kecewa.

Kalian buatku kecewa. Kalian tambahkan garam di luka yang belum bisa ku sembuhkan. Sakit, sangat sakit. Aku rasa tak apa jika yang menyakitiku itu seorang yang biasa. Tapi ini kalian. Kalian yang sudah kupercaya, dan kalian malah membuatku kecewa.

Diamnya aku itu marah.

Aku sudah berusaha meredam semuanya. Meredam emosi yang kian memuncak. Aku sempatkan untuk bisa tersenyum dan tertawa, meyakinkan kalian bahwa aku tak apa. Tapi, kalian memperburuk semuanya. Tak tahukah kalian kalau aku tak ingin kalian mengambil suatu kesimpulan yang bahkan tak terbayang dibenakku. Aku marah karena kalian mengabaikanku disaat aku percaya bahwa kalian akan selalu ada untukku.

Diamnya aku itu mencoba.

Yah aku mencoba menetralkan berbagai rasa di hati, sedih, kecewa, marah, dan merasa terkhianati. Mencoba untuk tak hiraukan semuanya dan hanya berpikir bahwa itu hanyalah masalah suasana hati.

Diamnya aku itu bertahan.

Aku bertahan dalam keheningan di tengah keramaian. Aku bertahan untuk tak menampakkan raut tak suka, walau sebenarnya apa yang kurasa sudah jelas terlukis dari mimik muka. Walau banyak yang tak suka aku, aku tak bisa lakukan apa-apa karena aku hanya sendiri dan tak ada lagi yang bisa kupercaya. Aku ingin melampiaskan semua kesal, marah, kecewa, sedih ini, aku ingin! Tapi aku tahu bahwa aku belum bisa mengontrol emosi apalagi disaat suasana yang tak mendukung seperti saat ini, karena itu aku tetap bertahan untuk tetap diam.

Benar sepertinya apa kata orang kalau diam itu adalah emas. Karena saat diam hanya ada aku dan hati yang berbicara. Karena saat diam aku merasa banyak hal yang terlintas dalam benak, tentang berbagai rasa yang membuatku kacau. Yah untungnya aku bisa diam. Karena emas itu terpendam dan saat diam itulah aku banyak memendam berbagai rasa (sedih, kecewa, kesal, senang, marah, dsb) yang belum tentu jika aku melampiaskannya akan membuat semua orang paham. Ya aku memilih diam karena cukup aku dan Tuhan saja yang mengerti arti emasku itu apa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun