Jika ada urusan di kawasan ini, Simon (75) tak ingin menu lain selain sate di gang Suniaraja. Padahal di sana berjejer kuliner yang menarik selera lainnya. Â "Mumpung ke sini, saya pasti makan sate pak haji ini. Empuk dagingnya, cocok buat orang tua seperti saya," katanya beralasan.
Ia memesan dua porsi sate, masing-masing sepuluk tusuk, plus nasi. Satu porsi untuk karyawannya, yang menyertainya belanja barang di kawasan bahan bangunan ini. Satu porsi tampak banyak sekali, karena dagingnya tidak diiris tipis, melainkan dipotong besar-besar. Di tengah potongan daging, diselipkan satu potong lemak. Berkilat minyak, menambah selera.
![Dok. Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/08/21/img-20190821-185653-5d5d3586097f36195a14d7f2.jpg?t=o&v=770)
Kendati tanpa satu pun spanduk yang mempromosikan gerobak sate ini, slogan tersebut amata cocok dengan Sate Pak Haji Lili, demikian nama penjual sate ini. Haji Lili yang berusia 50 tahun ini, mantan chef sebuah hotel di Bandung. "Jadi bumbu untuk sate ini sudah hasil ujicoba berkali-kali," kata Lili.
![Dok. Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/08/21/img-20190821-185636-5d5d35b1097f36141b772d04.jpg?t=o&v=770)
Abah tersebut tidak berkeberatan, bahkan tak sungkan membagi ilmunya pada anak muda yang penuh semangat ini. Namun Lili tetap memegang etika dagang. Dia tidak membuat "Gule Kepala Kambing", jenis lauk andalan abah saat itu. "Jadi kalau langganan ada yang mau gule kepala, saya pesenkan ke Abah," ceritanya.
Ilmu abah tidak sia sia. Ketika Abah meninggal, Lili yang meneruskan kuliner sate dan gule kambing. "Sekarang ada inovasi juga sate taichan,' kata Lili. Sate yang terbilang jenis baru di Indonesia ini, dikembangkan oleh anaknya, Â Edi (30). Mereka memfasilitas lidah modern juga.
Selain target dagang adalah pelanggan tetap di gerobak pinggir jalan ini, Â Lili juga melayani pesanan sate dan gule dalam bentuk catering untuk acara pernikahan, sunatan, arisan, reuni dan lain sebagainya. Sehari , diluar pesanan catering, sebanyak 1000 tusuk tandas terjual.
Dalam menjalankan bisnisnya, Lili dibantu oleh Edi dan dua karyawan lainnya. Gerobak tidak menginap di emper toko  tersebut. Setiap hari diangkut oleh mobil bak, ke rumah mereka di kawasan asir Koja.Â
Kendati di emper toko, pembeli tetap menikmati sajian tersebut tanpa merasa diburu buru, karena kesibukan pertokoan. Sebuah toko di sebelahnya, bahkan mempersilahkan para pembeli duduk di tangga area toko.
"Saya selalu memilih makan di deket tangga ini, enak santai," ujar seorang pelanggan lama Andri Adityawarman (53). Dia mengaku mengenal tempat ini , masih sate gerobak Abah, sejak masih kecil.. "Sering dibawa orangtua membeli sate di Suniaraja ini. Rasanya tidak berubah, Walaupun pelanggan makin banyak, kualitas rasa tetap dipertahankan," ujarnya.
-
Dok. Pribadi