Larut malam dalam sebuah perjalanan pulang, sambil menyetir suami berkata pada saya, "Mungkin benar apa kata orang, tanda-tangan aku bentuknya salah. Garisnya rata. Jadi rejeki kita  rata, segitu terus. Kalau ingin rejekinya naik, tanda-tangan harus ke arah atas,"
Saya terbahak. Saya usap-usap punggungnya, dan berkata,"Rejeki kita adalah anak-anak yang baik. Lagipula, apalagi yang kita perlukan ? Anak-anak sudah beres semua, kebutuhan kita tidak banyak lagi,"
Saya ingatkan lagi kepadanya, sebuah cerita yang dulu pernah ia kisahkan pada saya. Saat dia mahasiswa, depan kampusnya ada sebuah warung makan Padang.Â
Sungguh ramai. Pengunjung selalu penuh berdesakan. Dia sendiri jarang beli, karena ia harus menghemat uang kiriman dari kampung yang sebenarnya hanya cukup untuk dua minggu bertahan hidup.
Ketika dia sudah lulus dan bekerja, sudah punya uang, dia kembali ke rumah makan itu, untuk memuaskan selera lidahnya yang sempat tertunda. Namun yang ia dapati adalah sebuah rumah makan yang sepi, dan semakin kumuh. Ia bertanya kepada sang pemilik, mengapa pelanggan menghilang ?
Pemilik warung yang sudah semakin tua itu berkisah. Anaknya ada 11. Dari warungnya ini, beliau mampu menyekolahkan anak-anaknya. "Ibu pikir kalau mereka sudah beres, bapak dan ibu yang akan menikmati hasil warung ini. Namun ternyata salah. Mereka beres, eh warung malah sepi. Lalu ibu berpikir, ya ternyata rejeki banyak selama ini adalah rejeki anak-anak. Mereka sudah mandiri, ya ini tinggal rejeki bapak dan ibu," Â
Saya ingatkan itu kembali pada suami, bahwa rejeki kami berdua yang dulu melimpah untuk ukuran kami, adalah rejeki anak-anak kami. Sekarang berkurang, karena Tuhan tahu, sebesar inilah rejeki yang cukup untuk kami sekarang.
Maka itu pula yang saya katakan pada sahabat-sahabat saya, yang anehnya akhir-akhir ini banyak datang untuk bercerita tentang kehidupan mereka yang sulit. Mbak A, bercerita harus merelakan rumahnya dijual untuk menyelesaikan sekolah anak-anaknya karena  suaminya meninggal. Teteh B, terpaksa menjual rumahnya karena suami sakit, agar bertahan hidup hingga anak-anaknya selesai sekolah dan mandiri.Â
Saya peluk mereka dan mengacungkan jempol atas kepasrahan dan keikhlasan mereka menerima kondisi tersebut. Bukankah awal menikah bahkan rumahpun kita mengontrak ? Bahwa kemudian kita memiliki rumah adalah untuk melindungi dan membuat anak-anak kita nyaman. Lalu ketika kita menjualnya, itu juga demi anak. Berapa lama pula lagi hidup kita kaum sepuh.Â
Saat kembali tak banyak yang dibutuhkan, hanya kain kafan. Tapi kita sudah menjaga amanah NYA, menjadikan anak-anak kita menjadi khalifah yang berguna untuk sesama umat, sepeninggal kita kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H