Sore datang dan membiarkan udara menguning, kepedihan tatapan mata ini tak juga bergeming. Kayu-kayu, dengan gari s lingkaran tahunnya seakan menjawab pertanyaan yang tak sanggup kulemparkan. Berapa lama lagi penderaan hati ini. Sampai kapan aku mampu tersesat di hutan mencintaimu, hingga nanti kamu akhirnya harus meninggalkanku.
Semakin ku tak ingin melepasmu, menuju malam, semakin menyadarkan siapa diriku atasmu. Bintang-bintang memberi ijin pada keberadaan kita, namun hanya dalam seberapa jam, kita akan melapor pada matahari siang, menyerahkan segenap malam indah yang entah jika memang bukan milikku, seperti aku yang tak memilikimu.
Rasa bersalah selalu kalah dengan pertarungan lawan-lawannya. Rasa ingin memiliki, rasa desakan mencintai. Aku, pendaki yang berusaha mencari celah menyala api, namun keliru berjalan mengarah padamu yang sejuknya tak bisa disamai satu pun pohon besar di hutan ini.
Aku tersesat, namun berdiri di jalan yang tidak asing selama itu bersamamu.
Cinta, jika saja kamu ada duanya..
Tak perlu kusita waktumu yang seharusnya dihabiskan bersamanya Menuju tanah, air mata rasa salah yang kali ini menang pun berlinang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H