Masa Orientasi Siswa atau yang sering dikenal dengan MOS, merupakan awal mula perjalanan seorang siswa ketika memulai mengenyam pendidikan di sekolah, berkenalan dengan lingkungan sekolah, kakak senior, dan teman baru. Namun nampaknya MOS yang sering diselenggarakan oleh sekolah-sekolah di negeri ini setiap tahun ajaran baru sangat bertolak belakang dari makna orientasi itu sendiri. Orientasi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar, artinya jika kita kaitkan dengan MOS maka sekolah berperan sebagai media bagi siswa untuk bisa mengambil gambaran  terkait arah yang akan dituju selama menempuh pendidikan disekolah tersebut.
Setiap tahun ajaran baru MOS nampaknya selalu menjadi berita hangat di media, tak jarang kita melihat di berita beberapa kasus yang terjadi saat melaksanakan MOS. Mulai dari kasus kekerasan, pelecehan seksual, bahkan sampai meregang nyawa peserta didik yang lagi-lagi mencoreng nama pendidikan di negeri ini. Mungkin memang sedikit aneh jika kita melihat MOS dari segi praktiknya, MOS yang seharusnya di warnai dengan nilai-nilai pendidikan namun dalam pelaksanaannya sudah menyalahi tujuan awalnya. Bertujuan untuk menumbuhkan mental baru justru dilakukan dengan bentakan. Menanamkan nilai-nilai baru dengan cara kegiatan fisik semi militer. Menumbuhkan rasa solidaritas dengan jalan mengerjai siswa, mewajibkan siswa menggunakan atribut MOS yang tidak pantas, diberi name tag dengan panggilan yang merendahkan, lantas dimana nilai-nilai pendidikan selama MOS dilaksanakan.
Input yang salah, maka akan menghasilkan output yang bermasalah pula. Kesalahan yang dilakukan dalam pelaksanaan MOS ternyata bedampak panjang terhadap prilaku siswa sehingga siswa yang lulus menjadi disorientasi, Seperti yang sering kita temui setiap tahunnya sudah menjadi budaya bagi siswa merayakan kelulusan dengan moncoret-coret baju seragam dan melakukan konvoi di jalan raya entah apa maksud dan tujuannya. Namun jika kita tarik kembali, tentu hal ini tidak terlepas dari kesalahan awal ketika karakter siswa dibentuk pada masa orientasi. Bahkan lebih mirisnya lagi terkadang para siswa merayakan kelulusan bukan hanya sebatas mencoret-coret baju dan konvoi di jalan raya tapi juga melakukan pesta miras dan seks bebas sebagai tanda luapan  kegembiraan mereka, Padahal masih banyak hal positif lainnya yang dapat dilakukan sebagai bentuk kegembiraan dan rasa syukur atas keberhasilan yang diperoleh. hal ini sungguh sangat jauh melenceng dari nilai-nilai berpendidikan, mestinya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin meningkat pula kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai seorang yang terpelajar untuk memberikan tauladan yang baik.
Pendidikan yang menjadi central untuk mencetak manusia-manusia cerdas, berakhlak mulia dan berwawasan luas yang diperuntukkan sebagai SDM dalam hal pembangunan dan kemajuan, namun nyatanya sudah bergeser dari apa yang dicita-citakan oleh bangsa ini. Mari selamatkan moral anak bangsa karena ini adalah tanggung jawab kita bersama, sebagai bentuk kepedulian kita demi masa depan bangsa yakni dengan jalan menanamkan nilai-nilai moral dan menumbuhkan karakter akhlak yang mulia kepada pelajar sebagai benteng dari perbuatan buruk yang tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai pendidikan di Negeri ini.
(penulis merupakan mahasiswa UIN Jakarta asal Penajam Paser Utara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H