oleh : Emha Ainun Nadjib
Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil
harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas.
Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain
Islam – harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah
seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau
mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar
namaya.
Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak
teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah
adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan
Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat
Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero
Bagdad, Amerika Serikat lah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah
pasti adalah Islam.
“Agama” yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan
iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi,
ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi
pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.
Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban
dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan
kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.
Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese
dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati
Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang
mereka. Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa
melalui apresiasi terhadap Qur’an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai
anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di
berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana
dari sudut yang semacam juga menilai Islam.
Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena
bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal
Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur
Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: “Banyak
nuansa Arabnya ya ? Mbok lain kali bikin yang etnis ‘gitu…”
Lho kok Arab bukan etnis?
Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui
sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama
sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal,
dan bukan lalap.
Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada
Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah “Yarim
Wadi-sakib…”, itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau
menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman,
tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.
Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan
oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi
sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap
menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangn atas Islam
dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau
tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban
yang dominan dan tak ada kompetitornya. “Al-Islamu mahjubun bil-muslimin”.