Sejak pertengahan minggu ini, jagat maya Indonesia seolah diguncang oleh ledakan dari gerakan "Peringatan Darurat Indonesia." Gambar Burung Garuda dengan latar belakang biru meramaikan timeline kita, seolah menjadi simbol protes yang mewakili ketidakpuasan mendalam terhadap DPR dan pemerintah.Â
Mengapa? Karena mereka terlihat sibuk berusaha menghapus keputusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat pencalonan kepala daerah, sementara rakyat berteriak seperti sedang menghadapi keadaan darurat.
Sungguh, pemandangan demonstrasi di depan gedung DPR/MPR pada Kamis (22/8) mirip seperti panggung teater absurd, di mana pengunjuk rasa dan polisi beradu peran dalam drama ketidakadilan. Namun, ada yang lebih menarik dari sekadar protes jalanan---yaitu frasa "Let them eat cake" yang kembali menggema di media sosial.Â
Seolah-olah kita sedang menonton film sejarah Prancis dengan twist lokal, di mana penguasa tidak menyadari betapa buruknya keadaan di lapangan.
Mari kita kilas balik ke abad ke-18, di mana Prancis dipimpin oleh monarki yang sangat mirip dengan birokrasi kita hari ini. Di tengah kemewahan dan keangkuhan, Ratu Marie Antoinette, si simbol ketidakpedulian yang legendaris, diduga pernah berkata, "Let them eat cake" saat mendengar rakyatnya kelaparan. Ini bukan hanya mitos urban, tetapi juga bahan baku bagi kritik terhadap penguasa yang tidak peka terhadap penderitaan rakyat.
Namun, plot twist-nya adalah, frasa ini sebenarnya tidak pernah diucapkan oleh Antoinette. Ternyata, frasa tersebut berasal dari buku "Confessions" oleh Jean-Jacques Rousseau yang ditulis 24 tahun sebelum Revolusi Prancis.Â
Alih-alih "cake", yang sebenarnya ditulis adalah "brioche," sebuah roti mewah yang tampaknya jauh dari kebutuhan dasar rakyat. Jadi, Antoinette tidak pernah benar-benar mengucapkan frasa tersebut, tetapi reputasinya sebagai penguasa yang tidak peka tetap melekat kuat.
Berpindah ke masa kini, kita menyaksikan bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah menjadi bumbu penyedap dalam politik kita. Putusan ini, yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dan menetapkan syarat usia minimum, seolah menjadi "kue" baru yang diperebutkan banyak pihak.Â
Ambang batas pencalonan yang sebelumnya tinggi kini turun menjadi hanya 7,5 persen, membuka pintu bagi lebih banyak partai kecil untuk bertarung dalam Pilkada. Sungguh langkah besar, atau setidaknya itulah yang diharapkan para pendukung demokrasi.
Namun, DPR dan pemerintah tidak tinggal diam. Mereka langsung merespons dengan manuver cepat yang mirip dengan aksi seorang pelawak yang mencoba mengalihkan perhatian penonton dari trik utama.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!