Kapan pastinya, yang jelas sebelum tahun 1646 masehi---tahun dimana Kapol, seorang tokoh karismatik dan sebagai inisiator Ngarot, dinobatkan sebagai Kuwu Desa Lelea, upacara adat Ngarot sudah terselenggara secara sederhana dan rutin tiap tahun sekali. Ngarot yang dalam bahasa sunda kuno berarti "minum-minum" atau pesta, bermaksud mengumpulkan muda-mudi yang kemudian akan diserahi tugas pekerjaan di bidang pertanian.
Kenduri yang pada mulanya hanya dilaksanakan di balai (serambi) rumahnya, pada tahun 1646 kemudian dipusatkan di Balai Desa (Kantor Kuwu) dengan tidak menggeser substansi upacara tersebut. Yakni substansi atas nilai-nilai silaturahmi, substansi sebagai media motivasi kaum muda, dan kebersamaan lintas generasi, atau dengan kata lain gotong-royong yang secara aplikatif oleh masyarakat setempat disebut sebagai durugan.
Bersumber dari buku "Sejarah Desa Lelea" yang disusun oleh Samian (salah-satu Kuwu Lelea), durugan berasal dari kata "urug" yang artinya meninggikan suatu tempat, dalam hal ini tempat tersebut adalah ladang atau sawah. Secara filosofi, meninggikan dapat berarti bagaimana memperlakukan sawah sebagai media produksi pangan secara arif dan berkesinambungan, sehingga lebih bermanfaat, yang tentunya bukan untuk keluarga Kapol semata, melainkan juga bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya.
Durugan merupakan sarana pengajaran bagi kaum muda-mudi atau kasinoman Desa Lelea, untuk bagaimana memahami dan mencintai tahapan mengolah tanah pertanian. Sebagai medianya adalah sawah milik Ki Kapol yang seluas 26.100 M2. Sekarang sawah tersebut sudah berstatus sebagai asset pemerintah desa, melalui proses hibah dari Ki Kapol kepada pemerintah desa pada tahun 1671, saat beliau pensiun sebagai Kuwu Lelea.
Durugan dikerjakan secara bersama-sama dan dilakukan beberapa minggu (saat musim hujan datang) sesudah pelaksanaan Ngarot. Durugan dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu, tahap pengolahan tanah, tanam, dan tahap (durugan) panen. Adapun hasil panen tersebut yang kemudian, selain dinikmati oleh masyarakat setempat, juga disisihkan untuk biaya (swadaya) pelaksanaan Ngarot tahun berikutnya.
Demikian Ki Kapol menggagas Ngarot bukan tanpa alasan. Selain memberikan spirit bagi muda-mudi agar secara psikis merasa riang saat menerima tugas untuk mengerjakan lahan pertanian, juga merupakan gagasan yang sarat berfikir visioner; agar kaum muda-mudi Desa Lelea tidak begitu saja melupakan pertanian sebagai bagian dari hidup dan kehidupan masyarakat yang lambat-laun semakin kompleks.
"Aing serakun sawah aing anu luas 26.100 M2Â di Blok Tambang Raga ka pamarentah (kuwu) desa Lelea sebagi tanuh kasinoman jang budak ngora wewe jung laki belajar molah tani". Demikian amanah Ki Kapol saat berhenti sebagai Kuwu dan menyerahkan sawah (kekayaannya) kepada pemerintah desa. Saya rasa ini adalah upaya terakhir Ki Kapol yang mengharapkan Ngarot dan Durugan agar dilakukan terus-menerus sebagai penanda kaum muda-mudi untuk tidak meretas ranah pertanian yang identik dengan kehidupan desa, baik di dahulu maupun milenial ini. Salam Budaya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H