Terik matahari tak lagi mereka perdulikan. Cahayanya yang seakan membakar permukaan bumi tak mereka rasakan. Mereka terhanyut dalam hysteria kelulusan sekolah yang baru saja diumumkan. Senyum, canda, dan tawa membahana di seluruh penjuru sekolah. Corat-coret dan tanda tangan di seragam telah menjadi sebuah tradisi yang pantang dilupakan oleh mereka. Mereka seolah ingin bercanda dan bermain untuk yang terakhir kali sebelum memasuki masa dewasa, masa dimana tanggung jawab tak lagi mereka limpahkan pada orang tua maupun orang lain. Begitupun diriku. Aku berhasil lulus dengan nilai yang cukup tinggi. Aku berhasil masuk lima besar di sekolah ini.
Namun, yang kurasakan berbeda dengan apa yang dirasakan mereka. Kesedihan lebih menguasai perasaanku. bukan karena aku akan berpisah dengan teman-teman, guru, dan juga sekolah yang telah kudiami selama tiga tahun terakhir. Tapi, karena aku harus berpisah dengan Vita. Seorang wanita yang telah berhasil merenggut bukan hanya separuh hatiku, namun keseluruhannya. Wanita yang namanya telah menghiasi hatiku semenjak aku belum mengerti akan apa yang dinamakan cinta.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari dirinya. Dia anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan sederhana.. Ayahnya hanyalah seorang pedagang biasa sedangkan ibunya bekerja sebagai guru di salah satu sekolah. Dia bukan wanita yang cantik ataupun seksi. Sangat jauh dari predikat wanita idaman lelaki. Tidak sepertigadis pada umumnya, dia tidak suka berdandan. Dia bahkan lebih sering terlihat tomboy. pakaian yang biasa ia gunakan hanyalah celana jeans dan T-shirt. Tidak ada riasan di wajahnya. Semuanya begitu natural. Dia terkesan cuek akan penampilannya. Namun di balik sikap cuek dan penampilan tomboynya, sifat feminim begitu terlihat dalam kehidupan sehari-harinya. Keramahan, kebaikan, dan keceriaan yang selalu terpancar darinya membuatku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Tatapanku tak pernah terlepas sedetikpun darinya. Ku genggam erat tangannya karena aku tidak ingin berpisah darinya. Namun, perpisahan itu akhirnya datang juga. Vita mengungkapkan keinginannya untuk kuliah di salah-satu universitas di kota kami. Sedangkan aku harus meneruskan pendidikanku di luar kota karena aku telah diterima menjadi mahasiswa sebuah universitas Favorit di luar kota. Aku berusaha membujuknya untuk meneruskan pendidikannya di universitasyang sama denganku. Aku yakin jika ia akan diterima dengan mudah karena peringkat dua terbaik di sekolah selalu berhasil diperolehnya. Aku jadi teringat akan jawaban yang dia ucapkan saat aku menanyakan kenapa ia selalu peringkat kedua di sekolah. Padahal aku yakin jika ia mau, ia bisa saja menjadi peringkat pertama di sekolah kami. “ Aku pengen menjadi yang terbaik. Tapi, aku gak mau jadi orang sombong. Makanya aku berusaha menjadi juara dua karena yang terbaik setelah juara pertama kan juara dua. Kalau aku juara dua, aku tidak akan bisa sombong karena masih ada yang lebih baik dari aku.” Ucapnya kala itu. Sebuah jawaban yang menurutku cukup filosofis untuk ukuran murid SMA. Berbagai upaya aku lakukan agar ia mau masuk universitas yang sama denganku. Namun, tidak ada satupun yang berhasil mempengaruhinya. Semua usahaku gagal.
Hari keberangkatanku ke luar kota pun tiba. Dengan mengendarai motor kesayanganku yang aku beri nama Sky, aku pergi meninggalkan kota tempatku dibesarkan. Tempat berbagai kenangan terukir di hidupku. Aku berhenti di sebuah jembatan yang menjadi batas desaku dengan desa lain. Tempatku dan Vita bercanda berdua sembari menikmati senja. Memandang keindahan cahaya merah sang surya yang akan segera kembali ke peraduannya. Di sana Vita telah menungguku. Duduk termenung memandang air yang tengah mengalir deras. Aku melihat sesuatu yang berbeda dari dirinya. Entahlah. Aku tidak tahu apa yang berbeda dari dirinya. Setelah berpamitan sembari menggenggam erat tangannya aku melanjutkan perjalananku. Aku menoleh ke belakang dan kulihat lambaian tangan serta senyum terindah yang pernah kusaksikan masih menghiasi wajahnya.
Hamper setiap malam aku teringat Vita. Kerinduan begitu menusuk kalbu mengalahkan kerinduanku akan rumah, keluarga, teman, bahkan orang tuaku. Yang ada di pikiranku hanyalah Vita. Lambaian tangan serta senyum terindah yang menghiasi wajahnya selalu terbayang di mataku. Perasaan rindu pada Vita seakan menyiksaku. Aku menantikan liburan kuliah. Namun, liburan yang kutunggu tak kunjung datang karena sang waktu terasa berjalan begitu lama.
Setelah kunanti sekian lama akhirnya liburanpun tiba. aku bergegas pulang ke tempat dimana Vita berada. Aku sudah tidak sabar untuk melihat lambaian tangan serta senyum di wajahnya menyambut kedatanganku. Telah kusiapkan berbagai rencana yang akan aku lakukanbersamanya. Berjalan mengelilingi desa, bercanda mengenang masa lalu. Memandang senja di atas jembatan sembari mendengar gemericik air. Memandangnya membuat kue dan menjadi orang pertama yang merasakan hasil karyanya.
Senja menyambut kedatanganku. Angin semilir yang berhembus dari pegunungan seakan mengabarkan kehadiranku pada semua orang yang ada di desa ini. Kupacu sky perlahan menyusuri jalan pedesaan yang berbulan-bulan kutinggalkan.
Semua berlalu sesuai dengan yang kurencanakan. Liburanku kali ini aku habiskan bersama Vita. Perasaan bahagia selalu melingkupi hatiku saat bersama dengannya hingga tanpa kusadari liburanku tinggal beberapa hari lagi. Dua hari sebelum aku kembali meninggalkan desa ini, terjadi peristiwa yang tak pernah kusangka sebelumnya. Peristiwa yang menjadi awal penderitaanku. Awal permusuhanku dengan-Nya.
Vita datang menemuiku dan mengatakan jika ia tahu tentang perasaanku padanya. Dia berkata jika ia kecewa padaku. Memintaku menghapus semua perasaanku padanya dan melupakan persahabatan diantara kami. Aku bingung. Aku bertanya mengapa ia memintaku menghapus rasa sayangku dan melupakan persahabatan diantara kami. Namun, ia tidak menjawab pertanyaanku. Semenjak kejadian itu ia selalu menghindar dariku. Berbagai usaha telah aku lakukan agar bisa bertemu dengannya. Namun, semua usahaku gagal.
Dua hari kemudian aku bersiap pergi meninggalkan desa ini karena liburanku telah usai. Setelah berpamitan pada kedua orang tuaku, aku pergi bersama Sky yang selalu setia menemaniku. Saat melewati jembatan kesedihan kembali merasuki pikiranku. Aku kembali teringat pada Vita. Aku menoleh ke belakang dan tanpa sengaja melihat seseorang di kejauhan. Aku bermaksud menghampiri orang tersebut karena aku yakin jika ia adalah Vita. Namun, saat aku akan menghampiri, orang tersebut berlari meninggalkan tempatnya berada.
Pikiranku tak lagi focus pada pelajaran. Yang ada di benakku hanyalah Vita. Paras, senyum, serta segala hal tentangnya selalu terbayang di mataku. Setelah berfikir cukup lama aku memutuskan untuk pindah ke universitas tempat Vita kuliah di akhir semester ini. Aku ingin bertemu dengan dia dan menjelaskan semuanya. Meskipun aku tak bisa memilikinya sebagai kekasih, aku harap aku masih bisa memilikinya sebagai sahabat seperti dulu lagi.
Setelah menyelesaikan ujian, aku segera mengurus semua persyaratan untuk pindah. Tepat di hari ulang tahunku, aku pulang ke rumah untuk mengambil beberapa berkas yang diperlukan untuk proses kepindahanku.
Aku tiba di rumah saat jam tua berdentang sebelas kali. Ku ketuk perlahan pintu pagar. Tak berapa lama kemudian Ayah keluar dan membukakan pintu. Setelah memasukkan Sky ke kamarnya, aku berbincang bersama ayah dan ibuku sembari menikmati cemilan yang aku beli di tengah perjalanan tadi. Tak kukira sebelumnya aku mendapat kado ulang tahun untuk pertama kalinya dalam hidupku. Namun, kado yang kudapat bukanlah kado yang kuharapkan. Kado itu berupa kabar dari ibuku jika . . . jika. . . jika Vita telah tiada.
Diam. Itulah hal yang aku lakukan saat aku mendengar kabar tersebut. Dunia seakan runtuh. Hatiku hancur. Remuk redam. Semuanya terasa gelap. Tanpa kusadari air mata menetes dari kedua mataku. Aku termenung sendiri di kamar. Memandang kegelapan malam. Aku berusaha meyakinkan diriku jika apa yang disampaikan ibu tidak benar. Aku meyakinkan diriku jika ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang menghampiriku di kala aku terlelap dalam keheningan malam.
Alunan nada yang berusaha menyadarkan insane yang tengah terlelap dalam tidur mereka. Alunan nada yang menandakan waktu menghadap Dia telah tiba membuyarkan lamunanku. Aku berjalan perlahan mengambil air untuk menyucikan diriku sebelum aku bertemu dengan-Nya. Aku menghadap Dia dengan kekhusukkan yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Kupanjatkan doa agar kabar yang dikatakan ibu semalam tidak benar. Di pagi buta tatkala sang surya belum menampakkan sinarnya, aku pergi ke rumah Radith, salah seorang temanku. Aku menanyakan perihal kebenaran kabar tentang Vita.
Tubuhku lemas saat Radith membenarkan kabar yang diucapkan ibu padaku. Gairah hidup seolah melayang meninggalkan ragaku. Kegelapan datang menghampiriku bersama dengan keputusasaan. Dengan suara serak menahan tangis, aku meminta Radith untuk menunjukkan tempat bersemayamnya raga Vita. Tempat peristirahatan terakhir wanita yang telah kucintai sejak lama. Ya. Kucintai sejak lama. Air mata tak dapat lagi aku bendung. Ia jatuh dengan derasnya membasahi wajahku saat aku berada di samping makam yang bertuliskan nama Vita di nisannya.
“ Vita meninggal karena mengalami sakit kanker stadium empat. Ia menitipkan buku ini padaku sehari sebelum peristiwa itu terjadi dan memintaku untuk memberikannya padamu.” Ujar Radith sembari memberikan sebuah buku diary bersampul biru, warna kesukaannya. Diary yang hanya berisi beberapa lembar kertas karena yang lain mungkin dirobek karena ada bekas robekan di dalamnya. Ku buka perlahan diary tersebut dan mulai membacanya.
Sabtu, 20 Juni 1992
Dear Diary
Hari ini dia akan berangkat ke luar kota untuk kuliah di sana. Meninggalkan desa ini dan meninggalkan diriku. Sebenarnya hatiku sedih harus berpisah dengan dia. Ingin rasanya kuliah ditempat yang sama dengannya. Namun, itu tidak mungkin terjadi. Itu semua hanya akan menjadi mimpi-mimpiku. Mimpi yang tak akan pernah menjadi nyata.
Sabtu, 07 November 1992
Dear Diary
Hari ini adalah ulang tahun pertamaku tanpa dia. Kesepian begitu menyelimuti hati dan pikiranku. Aku merindukan canda dan tawanya yang selalu menghiburku di kala aku sedih. Menemaniku di saat aku sendiri. Mendampingiku ketika aku membutuhkan seseorang sebagai sandaranku atas semua masalah yang silih-berganti datang menghampiriku. Aku baru sadar jika dia sangat berarti bagiku. Aku sangat merindukan dia. Sangat.
Sabtu, O9 Januari 1993
Dear Diary
Hari ini aku sungguh terkejut. Aku baru mengetahui jika sebenarnya ia juga memendam rasa yang sama seperti diriku. Ia mencintaiku Diary. Hatiku sungguh bahagia mengetahuinya. Namun, di lain sisi aku sangat sedih. Aku tidak mungkin bisa menjalin hubungan dengannya karena waktuku di dunia ini tak akan lama lagi. Aku berpura-pura membencinya dan tidak mau lagi bertemu dengannya. Hal tersebut terpaksa aku lakukan meskipun sebenarnya hatiku sakit karena aku tidak ingin ia bersedih jika saat kepergianku telah tiba. Aku ingin dia membenciku sehingga ia tidak akan merasa sedih jika kelak aku tiada. Aku ingin melihat dia bahagia karena aku sungguh-sungguh mencintainya.
“Jadi itu alasanmu menghindar dariku Vit ?” Ucapku dalam hati saat aku telah membaca semua isi buku Diary tersebut.
“Kenapa Kau mengambil dia dariku ?”
“Kenapa ?” Teriakku.
“ Jangan salahkan aku jika mulai saat ini aku tak lagi memuji-Mu. Jangan salahkan aku jika mulai detik ini aku mengikrarkan permusuhan dengan-Mu. Semua ini salah-Mu. Salah-Mu. Karena telah mengambil Novita dari sisiku.” Ucapku dalam hati.
Aku ambil sebuah pena dari saku dan menuliskan sebuah puisi di halaman terakhir buku Diary tersebut.
Teringat kembali akan dirimu
Saat kunikmati kesepianku
Kesendirian di keheningan malam
Ketika semua terbuai dalam alam khayal
Aku Tanya pada rembulan
Aku Tanya pada bintang
Aku Tanya pada Tuhan
Dimana dirimu yang sangat berarti
Namun semua diam
Seakan tak mempedulikanku
Seolah mengacuhkanku
Kini . . . . .
Sendiri . . .
Ku cari jawaban semua ini
Aku tak lagi mengharap bintang
Aku tak lagi mengharap bulan
Aku tak lagi mengharap Tuhan
Menjawab semua yang ku tanyakan
Karena aku tak lagi percaya akan mereka
Bagiku . . . . .
Mereka . . . . .
Hanya ilusi manusia
Yang tak nyata
Bagiku . . . . .
Mereka . . . . .
tak pernah ada
Ku tatap sang surya yang perlahan menampakkan sinarnya. Memberikan kehangatan bagi semua insane di dunia. Tak lama berselang aku bangkit. Berjalan perlahan meninggalkan Radith yang masih terdiam. Aku berjalan ke arah Timur bersama Sky yang menemani perjalananku. Menjadi pendampingku dalam pertempuran antara aku dan Dia.
Surabaya, 22 Januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H