Mohon tunggu...
Ubet sky
Ubet sky Mohon Tunggu... -

seseorang yang ingin menjadi seperti Nobita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Tuhan dan Diriku

12 Maret 2012   06:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:11 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seekor burung melayang di angkasa. Mengitari hutan rimba yang berada di lereng gunung Akina. Matanya menatap sekawanan lebah yang tengah menghisap sari bunga Edelweis. Hembusan angin menerpa pepohonan. Satu per satu dedaunan berguguran.menandakan musim gugur akan segera tiba. tidak akan ada lagi bunga Sakura yang bermekaran seperti di musim semi. Burung tersebut terus berputar. Pandangannyatetap mengarah ke bawahlayaknya raja yang sedang mengamati rakyatnya dari angkasa.

Namun, di balik kegarangannya terpancar kesayuan dari kedua matanya. Ia seperti kebingungan mencari tempat sebagai sarang barunya. Mungkin sarangnya telah rusak seiring gugurnya bunga sakura yang diterpa angin musim gugur. Suara kicaunya seolah menanyakan kenapa Tuhan membuat musim gugur yang merusak hari-hari indahnya di musim semi. Aku terus memperhatikan burung tersebut hingga ia hilang bersembunyi di balik punggung gunung Akina.

Aku melihat sosok diriku dalam burung tersebut. Sedih, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa karena perubahan yang disebabkan oleh sang waktu. Sebuah peristiwa terbayang di depan mataku seperti film yang tengah diputar ulang. Peristiwa yang merubah diriku. Merubah penampilan, perilaku, serta perasaanku.

Aku kembali teringat akan senja yang membuatku kehilangan wanita yang telah mengisi kekosongan hatiku. Menemani jiwaku yang telah sekian lama terpenjara kesepian. Terkenang kembali akan ketidakadilan Tuhan padaku. Ia merenggut Ayah dan Ibu yang sangat aku sayangi ketika aku masih kecil dan kini Ia menjauhkan Dewi dari diriku.

Suatu senja di lereng gunung Akina yang dipenuhi bunga, Dewi datang dengan air mata berlinang di pipinya. Ia mengatakan jika ia harus menikah dengan seseorang pilihan Ayahnya. Hatiku remuk redam tatkala deretan kata yang diucapkan Dewi melewati gendang telingaku. Aku marah namun bukan pada Dewi. Ia terpaksa menikah karena perintah dari orang tuanya. Kemarahanku bukan pula pada Ayah Dewi.

Kemarahanku tertuju pada Tuhan. Sebuah pertanyaan mengalun di hatiku. Pertanyaan kenapa Tuhan menakdirkan aku seperti ini. Pemuka agama selalu berkata jika Tuhan selalu menyayangi manusia ciptaannya. Namun, mengapa Dia selalu membuatku merasakan penderitaan. Mungkinkah Dia tidak menyayangiku. Tapi mengapa ? hamper semua perintahnya telah aku jalani dan semua larangannya telah aku hindari.

Atau mungin aku bukan manusia ciptaan-Nya ? Mungkin aku manusia yang lahir di luar kehendak-Nya. Keputusasaan sempat hinggap di jiwaku. Aku memutuskan mengakhiri perjalanan hidupku. Namun, ketika aku akan melaksanakan keputusanku, jawaban akan semua pertanyaan muncul di otakku.

Mungkin Dia bahagia melihatku seperti ini. Menikmati semua penderitaan yang tengah kurasakan. Aku membatalkan keinginanku mengakhiri hidup. Aku memutuskan untuk melawan-Nya. Jika Dia bahagia melihatku menderita, maka aku berusaha untuk tidak menderita agar Dia tidak lagi bahagia. Jika Dia memberikan penderitaan padaku tatkala aku mematuhi perintah-Nya, maka kini aku akan melakukan segala yang dilarang-Nya. Jika Dia tidak menghargaiku jika aku menjadi umat-Nya, maka kini aku akan hadir sebagai musuh-Nya. Mabuk, berjudi, membunuh, mencuri, berzina aku lakukan sebagai bentuk kekecewaanku pada-Nya.

Suatu hari secara tidak sengaja aku bertemu dengan Alya, salah satu teman masa kecilku. Setelah pertemuan pertama tersebut, frekuensi pertemuanku dengan Alya semakin sering. Aku melihat tanda jika ia menyimpan perasaan padaku. Hal tersebut tidak aku sia-siakan. Aku ingin menjadikan Alya sebagai alat pembalasan dendamku pada-Nya.

Suatu senja di lereng gunung Akina aku duduk berdua dengan Alya. Suasana di sekitar kami sangat sepi karena ini merupakan hari kerja. Tidak ada seorang pun di tempat tersebut selain aku dan Alya. Kami berdua berbincang sembari menikmati indahnya cahaya surya di kala senja. Tiba-tiba muncul ide untuk melaksanakan apa yang telah lama aku rencanakan, membalas apa yang telah dilakukan Tuhan padaku melalui Alya. Dia dulu merenggut orang tua dan wanita yang sangat aku sayangi di kala senja, dan kini tatkala senja memamerkan keindahan sinarnya aku akan merenggut kehormatan Alya, wanita yang kuketahui sebagai umat-Nya yang taat. Aku ingin mengetahui apa yang akan Dia lakukan jika aku menyakiti umat-Nya yang tekun memuji-Nya.

Dua bulan setelah peristiwa di lereng gunung Akina, Alya memberitahuku jika ia kini tengah mengandung keturunanku. Aku diam tatkala Alya mengatakan semuanya. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirku. Alya beranjak pergi setelah semuanya selesai ia katakan.

Rupanya itu merupakan terakhir kali aku bertemu Alya. Aku dan dia tidak pernah lagi berjumpa, entahlah, mungkin karena takdir atau memang karena aku selalu menghindar dan berusaha agar tidak bertemu dengannya lagi.

Beberapa bulan kemudian aku mendengar berita jika Alya meninggal dunia. Ia ditemukan tewas setelah darah mengucur sedemikian deras dan banyaknya dari nadinya. Ternyata ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, sebuah keputusan yang sempat terpikirkan olehku. Bahagia dan sedih menghiasi relung hatiku ketika aku mendengar kabar tersebut. Bahagia karena aku telah membalaskan dendamku pada-Nya yang telah mengambil semua yang aku sayangi. Namun, di satu sisi aku juga merasakan kesedihan karena Alya, wanit polos yang tidak ada hubungannya sama sekali telah menjadi korban dalam permusuhanku dengan Dia.

Lamunanku terhenti saat burung yang terbang tadi berkicau dengan kerasnya. Rupanya ia masih belum menemukan tempat yang tepat sebagai sarangnya yang baru. Ia terbang tanpa arah dan hanya berputar-putar di angkasa. Seperti diriku yang berjalan tanpa tujuan menjalani sisa hidupku. Aku bangkit dari dudukku dan mulai berjalan. Berjalan entah ke arah mana. Mungkin hanya sang waktu yang akan mengetahui akhir dari perjalananku. Sang surya masih memamerkan keindahan cahayanya di kala senja. Masih sama ketika aku kehilangan orang tuaku, Dewi, serta pergumulanku dengan Alya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun