Mohon tunggu...
Ubet sky
Ubet sky Mohon Tunggu... -

seseorang yang ingin menjadi seperti Nobita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Peristiwa di Kala Senja

12 Maret 2012   07:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:11 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini telah aku keluarkan semua yang terpendam dalam hatiku. Dengan disaksikan bintang dan sinar rembulan yang tengah purnama aku utarakan semua kekecewaanku pada Dia, kesedihanku ditinggalkan Reza, serta kemarahanku akan takdir.Semuanya aku tumpahkan pada Bayu. Aku sudah tak sanggup lagi menyimpan semua beban ini sendiri, dan Bayu yang akhirnya aku pilih untuk mendengar semua jeritan hatiku yang selama ini aku pendam sendiri.

Jangan kau tanyakan kenapa aku memilih Bayu karena akupun tak mengetahui jawabannya. Semuanya terjadi begitu saja layaknya air yang mengalir dari hulu ke hilir. Sedikit penyesalan hinggap di hatiku. Bukan karena aku malu terlihat cengeng, lemah di hadapan Bayu. Namun, karena kini masalahku akhirnya ada yang mengetahui. Jujur selama ini aku tidak pernah membagi masalahku kepada siapapun. Aku pendam dan kutanggung sendiri beban yang tengah menggelayutiku. Namun, untuk saat ini aku merasa perlu untuk membagi. Entahlah, aku merasakan sesuatu akan terjadi kepadaku sebentar lagi sehingga membuatku merasa perlu membagi beban yang selama ini kurasakan. Aku tak ingin kisahku ini hilang ditelan sang waktu jika kelak sesuatu terjadi padaku.

Bintang yang berpijar menemani perjalananku pulang. Setelah menceritakan semua masalahku pada Bayu, tiba-tiba saja aku ingin pulang. Aku ingin segera sampai ke rumah dan memandang lukisan Reza yang dulu pernah aku buat sebagai hadiah Ulang Tahunnya. Lukisan yang aku ambil kembali setelah Reza kembali ke alam damai.

Di tengah perjalanan tiba-tiba Reza hadir di hadapanku. Ia tersenyum manis kepadaku. Senyum termanis yang pernah aku lihat selama ini. Dia terlihat sangat anggun, cantik, dan mempesona. Aku yakin dia lebih indah daripada bidadari di surga. Bahkan dia terlihat lebih sempurna dari Tuhan sekalipun.

Dia mengulurkan tangannya padaku. Mengajakku terbang menuju alam kedamaian. Alam yang tak lagi memikirkan tentang dunia, nafsu, hingga Tuhan sekalipun. Aku raih tangan putihnya sembari memandang wajahnya yang disinari cahaya. aku genggam erat tangan halusnya seakan tak ingin kehilangan dia untuk kedua kali. Aku rasakan perasaan bahagia yang telah lama tak kurasakan. Aku rasakan kedamaian yang dahulu sering kurasakan ketika bersamanya.

Tiba-tiba sebuah cahaya terang menyinari kedua mataku dan membuat sosok Reza menghilang dari pandanganku. Dan bersamaan dengan itu terdengar sebuah suara. Braaak.

Gelap. Hanya itu yang kurasakan untuk beberapa saat. Saat aku membuka kedua kelopak mata, aku melihat banyak orang berlari menuju ke tengah jalan. Mereka berkerumun dan mengelilingi sesosok tubuh yang tergeletak. Aku mencoba menerobos kerumunan dan melihat sosok yang tengah berbaring di jalan raya. Keterkejutan menghinggapiku tatkala melihat raga yang berlumuran darah. Dia tewas mengenaskan ditabrak sebuah mobil yang melaju kencang.

“ Telah terjadi kecelakaan di jalan kamboja. Kecelakaan ini menewaskan seorang mahasiswa Universitas Bintang Merpati. Menurut salah seorang saksi mata korban berjalan tanpa melihat sekitar dan dari arah belakang sebuah mobil tengah melaju dengan kecepatan tinggi menabraknya. Polisi akan membawa korban ke rumah sakit . . . “

Kata-kata yang diucapkan salah seorang reporter menyadarkanku jika yang tengah tergeletak tak berdaya itu adalah tubuhku. Aku ikuti sebuah mobil yang membawa jasadku hingga sampai di sebuah rumah sakit. Selang tak berapa lama keluargaku datang. Ibuku berlari dengan isak tangis diikuti kakak, bibi, dan hamper semua keluargaku. Bahkan aku melihat Ayah terdiam di sampingku. Air matanya berlinang membasahi kedua pipinya yang mulai terlihat keriput. Padahal selama hidup aku tidak pernah melihat beliau meneteskan air mata. Bahkan ketika nenek meninggal dunia beberapa tahun lalu, beliau sama sekali tak menangis. Beliau terlihat begitu tegar dan sabar. Beliau selalu berpesan agar aku tidak pernah menangis. Beliau berkata jika air mata pantang bagi seorang laki-laki. Nasehat yang selalu aku pegang kecuali ketika aku kehilangan Reza. Setiap kali aku teringat akan dia air mataku tak lagi terbendung.

“ Ayah kenapa kau menangis ? padahal seumur hidup aku tak pernah melihatmu meneteskan air mata. Bahkan ketika nenek, wanita yang melahirkanmu meninggal kau sama sekali tak menangis. Apakah begitu berharganya diriku bagimu hingga kau meneteskan air mata ? ” Ucapku di sampingnya.

Dari kejauhan aku melihat Bayu datang. Hamper sama dengan keluargaku, dari kedua bola matanya meleleh buliran air mata. Dia datang memandangku yang terbujur kaku sembari menggenggam tanganku. Dia membisikkan sesuatu di telingaku. Mungkin sebuah doa, entahlah aku tidak tahu. Perlahan dia berjalan menuju Ayah dan Ibuku. Dia memberitahu semua masalah yang aku ceritakan padanya sebelum kecelakaan ini terjadi.

“ Dhani bercerita pada saya perihal masalah yang tengah dihadapinya. Dia mengatakan tidak bisa memenuhi permintaan Ibu untuk menikah dengan Rani karena dia telah mencintai wanita lain. Dia menitipkan surat ini untuk Ibu dan menyuruh saya memberikannya pada Ibu jika terjadi sesuatu padanya. Saya tidak menyangka akan secepat ini memberikan surat ini pada Ibu.” Ujar Bayu pannjang lebar sembari menyerahkan sebuah surat.

Dengan tangan bergetar Ibu menerima surat yang diserahkan Bayu padanya. Air matanya semakin tidak terbendung. Dari indera penglihatannya mengalir deras buliran hangat laksana air terjun Niagara. Dengan perlahan Ibu membuka surat tersebut lalu membacanya.

Untuk Ibuku tersayang.

Ketika Ibu membaca surat ini mungkin telah terjadi sesuatu padaku. Atau mungkin Jiwaku telah melayang bebas ke angkasa meninggalkan ragaku yang tercipta dari sesuatu yang menjijikan, membawa sesuatu yang menjijikkan selama hidup, dan kelak akan kembali menjadi sesuatu yang menjijikkan pula.

Ibu,aku hanya ingin minta maaf atas semua kesalahan yang telah aku lakukan. Aku, puteramu yang hanya bisa membantah dan menyakiti perasaanmu. Serta tidak sekalipun membuatmu bahagia ataupun bangga. Aku minta maaf karena tidak bisa mewujudkan keinginan Ibu yang menginginkan aku menikah dengan Rani. Hal ini terjadi karena aku sangat mencintai Reza. Sejak kepergiannya, hatiku sudah beku dan mustahil untuk menjalin cinta kembali dengan perempuan manapun.

Di setiap nafasku hanya tiga permintaan yang aku utarakan pada-Nya. Kebahagiaan Ibu dan Ayah, kebahagiaan Reza di alam kedamaian, dan yang terakhir permintaan agar aku tidak lama lagi bisa pergi. Pergi untuk selamanya menuju alam kedamaian.

Aku harap Ibu dan Ayah mau memaafkanku serta merelakan kepergianku. Hanya doa yang aku harapkan dari kalian berdua sebagai teman perjalananku mengarungi alam kedamaian.

Ttd.

Dhany

Air mata Ibu menetes deras setelah membaca surat yang baru saja diberikan Bayu padanya. Sebersit penyesalan tergambar di wajah sayunya. Tubuhnya bergetar. Peristiwa yang terjadi beberapa bulan lalu kini hadir kembali di depan matanya. Kejadian yang membuat hubunganku dengan beliau merenggang. Kejadian yang juga terjadi di kala matahari memancarkan keindahan cahaya senjanya.

“ Dari mana kau ? jangan bilang jika kau pergi ke makam Reza lagi.” Tanyanya.

“Dia itu sudah meninggal. Tidak ada gunanya kau seperti ini terus.”

Aku terus berjalan menuju kamar. Sama sekali tidak ada suara yang keluar dari bibirku. Aku tidak ingin membahas mengenai masalah ini pada Ibu. Aku tidak ingin orang lain mencampuri urusanku, meski itu Ibu sekalipun.

“ Ibu tadi bertemu dengan Tante Risa. Kami sepakat untuk menjodohkanmu dengan Rani. Puteri Tante Risa. Dia anaknya Cantik, baik, dan sekarang dia sedang kuliah di luar negeri.”

Aku menghentikan langkahku tatkala Ibu mengucapkan rencananya menjodohkanku dengan Rani. Aku akui jika Rani memang seperti apa yang diucapkan Ibu tadi. Dia cantik, baik, serta cerdas. Namun, untuk saat ini aku sama sekali tidak memiliki keinginan menjalin cinta. Hatiku masih hancur. Aku masih belum bisa merelakan kepergian Reza.

Sebuah kegilaan atau apalah namanya aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku melawan dan membantah semua perkataan Ibu. Hal yang baru pertama kali terjadi dalam hidupku. Aku merasa Ibu tidak pernah mengerti akan apa yang aku hadapi. Di tengah kesedihan, keputusasaan yang aku rasakan, Ibu malah menambah beban yang harus aku tanggung. Sejak saat itu hubunganku dengan beliau merenggang dan tak pernah kembali hingga malaikat kematian datang mengambil nyawaku.

“ Maafkan Ibu Dhan. Ibu tidak tahu jika kau begitu mencintainya. Andai Ibu tahu, Ibu tidak mungkin memaksamu menikah dengan Rani. “ Ucap Ibuku di tengah tangisnya.

“ Sudahlah Bu. Dhani pasti memaafkan Ibu. Sekarang relakan dia. Kini kita hanya bisa mendoakannya agar tenang di sana. “ Hibur Ayah.

“ Satu lagi permintaan Dhani pada kalian. Dia mengatakan jika tiba waktunya untuk meninggalkan dunia ini, dia ingin dimakamkan di samping Reza. “

“ Baik Nak. Terima kasih kau sudah mengatakan semuanya. Kami pasti memenuhi permintaan terakhir Dhani. “ Jawab Ayahku.

“ Maafkan aku ayah, maafkan aku Ibu. Aku sering membuat kalian menderita. Aku harap kita bisa berkumpul kembali seperti dulu kelak di surga. Selamat tinggal. “

Dhani melangkahkan kakinya kembali menuju ke arahku yang tengah berbaring. Dia mengucapkan beberapa kata di telingaku. Namun, kini tidk lagi dengan meneteskan air mata. Ia kini berbicara dengan sebuah senyum manis di bibirnya.

“ Apa yang kau inginkan telah tercapai Dhan. Orang tuamu tidak jadi bercerai. Dan kau tidak jadi menikah dengan wanita pilihan Ibumu itu. Meski jasadmu penuh dengan luka, namun sebuah senyuman tersungging indah di bibirmu. Senyuman yang belum pernah aku saksikan sebelumnya. Aku yakin kau kini bahagia di sana. Selamat tinggal sobat. Nama dan kisahmu akan selalu terkenang abadi di sanubariku. Rest in piece kawan.” Ucapnya sembari menatap ragaku yang kini tak lagi berdaya.

“ Terima kasih Yu. Kau memang sahabatku. Aku tidak salah memilih orang. Aku bersyukur membagi masalahku padamu. Selamat tinggal kawan. Aku akan menunggumu di gerbang surga. “

Itulah kata-kata terakhirku d dunia ini. Setelah mengucapkan kalimat tadi Reza kembali datang. Dia menggenggam tanganku dan mengajakku berjalan ke arah cahaya putih. Putih laksana kesucian. Aku berjalan perlahan meninggalkan orang-orang yang aku sayangi. Bergandeng tangan dengan Reza, orang yang sangat aku cintai menuju alam kedamaian. Matahari terbenam yang memancarkan keindahan senjanya menemani perjalananku. Perjalanan tanpa akhir menuju alam kedamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun