Selama sebulan saya berada di negeri Jiran. Inilah masanya saya paling lama meninggalkan Indonesia. Biasanya hanya kisaran 1-2 minggu. Di luar perasaan sentimental karena jauh dari rumah dan keluarga, ada beberapa hal yang menarik perhatian saya. Dibesarkan sebagai anak kota kabupaten dan kota kecamatan. Perhatian saya, banyak tertuju pada bidang pertanian. Apalagi saat ini ayah saya menjadi full time farmer di kampung halaman, selepas menjalani karirnya sebagai birokrat rendahan.
Tahun lalu, ayah saya menanam cabe dengan luasan sekitar setengah hektar. Cukup intensif juga. Ia menggunakan input teknologi. Dimulai dari bibit unggul, penggunaan mulsa plastik, sampai penggunaan pompa air. Maklum lahan yang dia garap adalah sawah tadah hujan. Untuk mesin pompa ini, ia harus berjuang mendapatkan solar. Karena pembelian dengan menggunakan jerigen, ternyata dilarang. Setiap jerigen yang ia beli, harus menambah 5000 rupiah di atas harga resmi. Boro-boro dapet subsidi, ia malah harus memberikan biaya ekstra.
Derita ini tak berakhir. Ia harus behadapan dengan kelangkaan pupuk. Ia harus menempuh jarak 30 km, ke kota kabupaten untuk pembelian pupuk, pestisida dan sarana produksi lain. Dan, itu tentu saja biaya tambahan lagi. Beruntung, yang punya toko bisa menjadi konsultan tanam. Mengharapkan PPL (Petugas Pertanian lapangan) sudah tak mungkin lagi. Waktu mereka sepertinya sudah tersita untuk persoalan administrasi. Belum lagi jumlahnya yang sudah sedikit di kecamatan kami. Tapi bapak saya tetap nekat. Tekadnya sudah bulat, karena ia dibantu seorang pemuda rajin. Orang yang dia sudah anggap anaknya.
Singkat cerita, ditilik dari hasil panen, usaha tani ini cukup berhasil. Hasilnya di atas rata-rata produksi lahan lain di kampung kami. Senyum mengambang melihat cabe yang membulir indah bergantungan di pohonnya. Namun ketika menjual, harga tak sebagus yang diharapkan. Ketika itu di pasar, harga konsumen sekitar 20 ribu/kg. Tapi bapak saya hanya bisa menjual sebanyak 11 ribu. Alasannya cabe bapak saya, kadar airnya tinggi. Dalam dua hari, akan menyusut sekitar 10-20 persen. Si pedagang juga mengatakan ada resiko yang harus dia tanggung dengan membeli cabe Bapak saya. Karena cepat busuk. Ia butuh waktu untuk membawa ke pasar-pasar dan mengedarkan ke pedangang pasar. Hasil panen setelah dikumpulkan hanya sanggup buat menutup biaya produksi. Sisanya dibagi dua dengan pemuda teman Bapak saya berkebun. Jumlahnya sebesar 5 juta. Sisa usaha selama 4 bulan. Artinya mereka hanya bergaji sebesar 600 ribu/bulan.
Saya membandingkan dengan di negeri jiran ini. Perbedaan harga di tingkat petani dan pedagang eceran hanya sebesar 30 persen. Rantai distribusinya singkat. Belum lagi mobilitas yang cepat, karena ditunjang infrastruktur yang bagus. Dari kebun sampai ke pasar induk tak sampai bermalam. Belum lagi tak adanya pungutan resmi dan tak resmi sepanjang jalan. Sekedar perbandingan, dari Brebes sampai Pasar Kramat jati, ada sekitar 10 pos retribusi jalan Dinas Perhubungan. Apalagi jika truk cabe itu berasal dari Alahan Panjang, Kabupaten Solok. Ditambah kondisi jalan yang memaksa kendaraan tak bisa melaju lancar.
Cabe hanyalah sebuah subsistem kecil dari sistem pertanian dan pangan kita. Terhadap sistem besar ekonomi bangsa ini, mungkin fungsinya sebatas sekrup kecil belaka. Walaupun kecil, tapi ia bisa jadi sangat penting. Tentu kita tak bisa membayangkan tanpa sambal di meja makan. Mudah-mudahan pembenahan sistem percabean kita bisa menjadi pintu masuk perbaikan sistem ekonomi kita secara menyeluruh.
Wassalam
Ube Gebe
Padang Bengkok-pastinya doyan cabe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H