Mohon tunggu...
Ubed A. Syarif
Ubed A. Syarif Mohon Tunggu... -

suka berteman dengan orang pinggiran dan terpinggirkan. sociopreneur; travel, research, writing. Books: Politik Identitas Etnis (2002), Negeri Yang Kurang Nyaman (2010), Negeri Yang Jaya (2012)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perubahan Sosial; dari Warung Kopi ke Cafe*

13 Januari 2015   18:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:14 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawan…

Jika anda membaca buku seri ke-4, seri terakhir tetralogi “Laskar Pelangi” karya Bang Ikal (Andrea Hirata), “Maryamah Karpov, Mimpi-mimpi Lintang”, mungkin akan ingat cerita soal budaya warung kopi di masyarakat Melayu.

Saya masih belum bisa mengamini bahwa budaya warung kopi adalah milik orang Melayu. Warung kopi yang digambarkan dalam Maryamah Karpov sebagai tempat bermalas-malasan orang Melayu Udik (bahasa bang Ikal), tempat  buang-buang rejeki dengan menghamburkan uang hasil kerja seharian, tapi juga tempat berekspresi, menjadi ruang publik, ruang sosial dimana orang-orang berinteraksi dan kadang berdemokrasi dengan saling berdebat, membual, kadang sebagai ruang ekonomi tempat dilakukannya kontak dan deal bisnis, juga tempat sekedar bermalas-malasan membunuh waktu dari pagi hingga malam hari.

Saya juga tidak tahu persis batasan “Orang  Melayu” atau budaya “Melayu” maupun secara territorial dari mana sampai mana. Jikalau konstitusi Malaysia menyebutkan “orang Melayu” adalah “orang yang beragama Islam”, dan menggunakan “bahasa Melayu”, sehingga orang non melayu yang memeluk agama Islam disebut “masuk melayu”, maka cakupan orang Melayu sangatlah luas dan bisa melintas batas Negara terutama para pemilik Selat Malaka, semenanjung Melayu, meliputi Aceh, Sumatera, Kepulauan Riau (Indonesia), Brunei Darussalam (Kalimantan), Thailand Selatan dan sebagian Filipina dan Malaysia serta Singapura. Negara-negara tersebut mengklaimsebagai negara serumpun.

Gambaran budaya orang Melayu dari “warung kopi” seperti dalam Maryamah Karpov, sedikitnya saya tangkap dari menjamurnya warung kopi di Nanggroe Aceh Darussalam,khususnya saat saya di Banda Aceh. Di sepanjang pinggir jalan selalu tampak warung kopi (warkop) dari model kaki lima di badan jalan sampai ke tingkat ruko (rumah toko).

[caption id="attachment_390470" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana di sebuah warung kopi, suatu malam di kota Banda Aceh"][/caption]

Aura budaya malas dari warung kopi tercermin dari bentuk kursi “malas” yang disediakan untuk pengunjung. Yang saya temui, model kursi itu seragam digunakan di hampir setiap warung kopi, yaitu berupa kursi (biasanya berbahan plastik), berkaki pendek tidak sampai sebatas lutut orang dewasa tingginya, lebar untuk ukuran dewasa, dudukannya menjorok ke belakang dengan sandaran yang agak jauh ke belakang.

Arsitektur kursi itu seolah memaksa kita yang duduk untuk “bermalas-malasan”, tidak bisa kita menegakkan sandaran kursi atau sekedar duduk tegak mengambil posisi “serius”. Jika di Yogya, terdapat warung-warung makan lesehan yang hanya buka di malam hari, maka warung kopi di Aceh buka dari pagi hingga malam hari dan tampak selalu saja ada tamu pelanggan yang singgah di warkop itu.

Di kota Banda Aceh, terutama dititik-titik keramaian di pusat kota, sepanjang jalan utama, sekitar kawasan hotel, warung-warung kopi itu kini menjelma menjadi “Café”, ada yang menamakan diri dengan lebih keren “Coffe Shop”. Budaya urban menyeret warung kopi pada bentuk modifikasi yang lebih modis dengan sentuhan gaya urban, menu jualannya semakin beragam, aneka jenis minuman dan makanan disediakan, pelayannya pun berseragam, tak sedikit pula pelayan perempuan. Tapi ciri khas “kemalasan” tidak hilang karena “kursi malas” tetap banyak digunakan pada “Coffee Shop” dan “warung makan” yang menamakan “Café” sekalipun.

Di kota Banda Aceh, pengunjung tamu atau pelanggan warung kopi dan café cukup beragam, dari anak usia remaja hingga dewasa dan orang tua, laki-laki (mayoritas) dan perempuan meski tidak sebanyak laki-laki. Laki-laki-perempuan berpasangan juga sering tampak pada warung kopi bentuk café.

Sementara, aslinya,budaya warung kopi di pedalaman Aceh, di Kampung-kampung, budaya warung kopi adalah budaya laki-laki (maskulin) dan hanya menyediakan minuman kopi dan sedikit kue-kue. Teman saya mengatakan, jarang sekali ada perempuan berkunjung atau nongkrong di warung kopi di kampung-kampung. Perempuan merasa malu dan tidak patut berkunjung ke warung kopi, jika pun mereka membeli kopi, pasti dibungkus dan dibawa pulang ke rumahnya.

[caption id="attachment_390474" align="aligncenter" width="300" caption="di Sebuah warung kopi ala cafe.."]

14211248031249880441
14211248031249880441
[/caption]

Ada yang menilai,  budaya malas “orang Melayu”, khususnya orang Aceh pasca Tsunami, semakin menjadi-jadi. Teman saya, yang juga membuka usaha membuat batu-bata sebagai bahan bangunan, merekrut pekerja orang luar Aceh, terutama “Jawa-Sumatera” (orang Jawa keturunan Sumatera),biasanya dating dari Lubuk Pakam, Lubuk Linggau, dan kantong-kantong imigran Jawa di Sumatera Utara. Katanya, “orang Jawa” ini lebih rajin dan lebih bisa dipercaya, mereka bekerja tanpa perlu dimandori, dan kerjaannya beres. Sementara, pekerja orang lokal (Aceh), sukar diatur, kerjanya harus diawasi dan minta upah yang tinggi.

Soal upah yang tinggi ini, teman saya mengatakan, itu salah satu efek dari bantuan Tsunami khususnya pada “Cash program”. Selama setahun “Cash Program” berjalan, dimana orang Aceh korban Tsunami, mendapat jatah uang tunai pada setiap kesempatan seperti diundang rapat, sekedar membersihkan rumah sendiri, pergi ke sawah, membersihkan jalan dan fasilitas umum, atau bisa kapan saja ada donor (bule/LSM/NGO) yang kasih bantuan, mereka bisa mendapatkan uang dalam jumlah besar.

Upah yang tinggi juga diterima oleh orang Aceh dan luar Aceh yang bekerja pada LSM/NGO. Kini, satu dasawarsa  pasca Tsunami, dimana LSM/NGO dan lembaga donoir asing, sudah banyak yang beringsut meninggalkan Aceh, para pekerja (LSM) terancam menjadi penganggur intelektual.

Bukan karena sama sekali tidak ada lapangan kerja di Aceh, tapi mereka tidak mau bekerja dengan standar gaji “lokal”. Yang lebih parah lagi, menurut teman saya itu, kelas pekerja “bawahan” pun tak mau ambil kerja “kasar” seperti menjadi buruh bangunan, atau sopir, yang gajinya kecil. Bukan pula karena tak ada lapangan kerja bagi mereka, faktanya geliat pembangunan infrastruktur dan rekonstruksi fisik masih terus berjalan di Aceh ini. Para pekerja ini biasanya didatangkan dari luar Aceh.

*Refleksi Kunjungan (field work) ke Aceh tahun 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun