Mohon tunggu...
Ubed A. Syarif
Ubed A. Syarif Mohon Tunggu... -

suka berteman dengan orang pinggiran dan terpinggirkan. sociopreneur; travel, research, writing. Books: Politik Identitas Etnis (2002), Negeri Yang Kurang Nyaman (2010), Negeri Yang Jaya (2012)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Di Balik '98 Itu....

27 Februari 2015   07:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:26 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ada apa di balik '98?

Saat tahu setting suasana pergerakan jelang bergulirnya reformasi dijadikan sebagai sebuah karya sinema, saya jadi berfikir kembali masa-masa aktif sebagai mahasiswa masa itu, tahun 1998, di sebuah fakultas di Universitas Negeri di Yogya yang dikenal sebagai sarang demonstran.Ya, fakultas Filsafat di rumpun fakultas humaniora di lingkungan kampus biru, Universitas Gadjah Mada, berdekatan dengan fakultas Isipol, Ekonomi, Sastra (Ilmu Budaya), dan Psikologi.

Tapi, yang paling dikenal dekat hubungannya dalam kaitan aksi-aksi demonstrasi masa itu adalah antara Filsafat dan Isipol. Para aktivis di dua kampus itu saling berkolaborasi dalam menggodok tema-tema dan menggoreng isu yang akan diangkat dalam sebuah aksi demonstrasi. Saya yang waktu itu, tahun 1998, masih duduk di semester 4, bisa dibilang masih junior dalam aktivisme kampus. Di fakultas kami dulu, aksi demonstrasi adalah pelajaran pertama saat pekan pengenalan kampus, OSPEK. Para "maba" diajak oleh para senior untuk turun ke jalan, keliling kampus teriak-teriak, angkat tangan kiri dikepal diatas, atribut dan simbol "kiri" tak luput disematkan, misal pakaian lusuh, compang-camping, topi dan perabot petani juga digunakan.

Cerita para senior, Fakultas filsafat, Isipol dan Sastra menjadi rumah bagi keseharian para aktifis dalam menggelar rapat, mematangkan rencana aksi dan titik awal pergerakan aksi. Salah satu nyawa dari aktivisme ini adalah Pers Kampus yang selalu mengorek persoalan-persoalan internal kampus baik tingkat fakultas maupun universitas. Dari situ, isu-isu aksi demonstrasi kerap mengkritisi dan menyerang kebijakan-kebijakan internal kampus yang dinilai merugikan mahasiswa, menyalahi aturan atau tuntutan kepada civitas universitas untuk unjuk kepedulian dan keprihatinan terhadap isu-isu yang berkembang di luar kampus.

Saya berulangkali mengikuti rapat rencana aksi, membangun isu, strategi aksi dan akhirnya eksekusi turun ke jalan, termasuk menghadapi skenario-skenario "buruk" yang kadang "diinginkan", bentrok dengan aparat keamanan (Polisi). Aksi demonstrasi bisa disebut berhasil salah satunya jika aksi itu mendapat perhatian warga, mendapat liputan media, dan yang penting aspirasi bisa didengar oleh pengambil kebijakan dan target kelompok, dan.."bentrok".

Meski saya bukan tipe "aktivis tulen", tapi momentum jelang reformasi '98 adalah pelajaran sebenarnya bagaimana aksi-aksi demonstrasi itu bernilai dan akhirnya "berbuah", tumbangya status quo rezim Orde Baru. Heroisme, tentu saja menjadi sebuah kebanggan (pride) aktivis mahasiswa '98 karena pernah menjadi bagian dari peristiwa bersejarah, meskipun tak tertulis sebagai "pahlawan".

Sejak awal tahun 1998, aksi-aksi demonstrasi di kampus kami kian marak. Tak sedikit aksi demonstrasi berujung "chaos", bentrok dengan aparat kepolisian. Kadang, kampus kami terasa mencekam jelang dan pasca aksi yang berakibat bentrok. Kami menyadari waktu itu, beberapa aparat intelijen berkeliaran masuk ke dalam kampus, berpura-pura menjadi mahasiswa, ikut diskusi dan bahkan mengekor saat aksi demonstrasi. Intelijen itu, dapat berperan ketika aksi demonstrasi mendekati "panas" dan "jenuh" dengan menjadi provokator agar "chaos" pecah. Ia melempar sesuatu ke arah aparat keamanan yang menyebabkan para polisi itu, yang mungkin juga sudah penat dan kepanasan menjaga aksi demo, menyerang para demonstran! Itulah cara kerja oknum yang kami sebut provokator.

Namun, dalam beberapa aksi demonstrasi yang makin membesar, mengundang massa dan melibatkan jumlah warga yang banyak sehingga tak terkendali, para aktivis sudah dapat membaca bagaimana jika aksi demo berujung bentrok parah, dan bagaimana cara menyelamatkan diri! Mereka mundur teratur, dan membiarkan massa warga yang sudah panas terlibat bentrok.

Dalam salah satu puncak aksi demonstrasi pada Mei '98 yang berakhir "chaos" di seputaran Bundaran kampus Biru, yang melibatkan kepolisian dan aparat TNI yang waktu itu sudah ikut turun, banyak korban yang merupakan para mahasiswa "biasa", bukan type "aktivis" dan warga umum yang ikut demo terkena pentung aparat keamanan, gas air mata, bahkan tembakan peringatan peluru karet nyasar. Saya pontang-panting masuk ke dalam salah satu gedung UKM meski sempat dicegat beberapa aparat TNI yang membawa senjata lengkap.

Itu sedikit ceritaku...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun