Filsafat, bidang keilmuan yang satu ini kerap diasosiasikan dengan bidang yang berat dan bahkan cenderung menakutkan bagi sebagian orang. Tidak sedikit pula yang mengasosiasikan filsafat dengan dunia mistik, spiritual dan perdukunan.
Pandangan dan anggapan seperti diatas tidaklah sepenuhnya salah, tidak pula sepenuhnya benar. Pandangan bahwa filsafat sebagai bidang ilmu yang berat dan serius memang demikian adanya jika melihat pada definisi yang ketat mengenai filsafat. Yaitu, kegiatan berfikir secara mendalam (radic) yang menghasilkan hikmah dan kebijakan (wisdom). Ada dua kata kunci yang mesti diingat dalam mengidentifikasi apa itu filsafat, yaitu kedalaman berfikir dan kebijakan (wisdom). Dari sisi etimologis, kata filsafa berasal dari kata Philein dan Sophia. Philein berarti cinta dan Sophia bermakna kebijaksanaan. Pythagoras menyebeut dirinya sebagai seorang pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom).
Akan tetapi filsafat juga bisa keduanya baik sebagai pencarian kebijaksanaan maupun kebijaksanaan (hikmah) yang dihasilkannya itu sendiri. Pada dasarnya, filsafat adalah eksplanasi rational atas segala sesuatu; prinsip-prinsip umum disaat fakta-fakta dapat dijelaskan. Filsuf-filsuf di masa awal seperti Aristoteles, Plato, Socrates lebih banyak mengemukakan prinsip-prinsip umum (general principles) dari kejadian dan peristiwa alam sekitar. Dari sini pula, filsafat sebagai ibu kandung pengetahuan.
Dalam perkembangannya, filsafat beranak pinak dalam berbagai cabang seperti etika, estetika, logika, metafisika, epistemology (filsafat pengetahuan), filsafat ilmu, filsafat agama, filsafat nilai, filsafat seni, filsafat kebudayaan. Dan setiap cabang ilmu mengambil kata depan filsafat untuk menyebut proses dan hasil-hasil kajian mendalamnya. Katakanlah seperti filsafat ekonomi, filsafat bahasa, filsafat komunikasi, filsafat matematika, filsafat psikologi dan sebagainya.
Filsafat sebagai kreativitas
Orang bertindak atau melakukan sesuatu tidak bisa disebut sebagai berfilsafat. Akan tetapi berfikir atau memikirkan agar sesuatu itu berjalan lebih baik bisa dikatakan berfilsafat. Orang mancing, walaupun ia tampaknya merenung bukanlah tengah berfilsafat, akan tetapi memikirkan bagaimana bentuk umpan, ukuran pancing atau gaya memancing yang bisa lebih menghasilkan ikan itu adalah kegiatan berfilsafat. Olah raga adalah aktifitas fisik, tetapi memikirkan dan menghasilkan bentuk-bentuk olah raga yang lebih menyehatkan atau bisa membuat orang lebih bergairah bisa disebut berfilsafat. Pada dasarnya, berfilsafat bisa dilakukan setiap orang selama dia memiliki dan mampu mengaktifkan nalar berfikirnya.
Meski demikian, tentu tidak semua aktifitas berfikir bisa disebut sebagai aktifitas berfilsafat. Berfikir filsafat memiliki metodologi dan kaidah-kaidah khas tersendiri seperti sifat radic (mendalam), koherensi, konsistensi, menggunakan prinsip-prinsip logic (logika). Beberapa cabang ilmu filsafat mengembangkan metode-metode berfikir tersendiri dalam upaya mencapai sebuah hipotesis atau kebenaran, seperti empirisme dan rationalisme serta berbagai aliran filsafat lainnya. Sebagai contoh, Empirisme memandang kebenaran (truth) berlandaskan pada ujicoba dan pengalaman-pengalaman untuk menyentuh pada kebenaran yang diinginkan. Sementara rasionalisme memandang bahwa kebenaran itu bersifat deductive dan intelektual bukan berdasarkan pengalaman (sensory).
“Aku berfikir, maka aku ada” adalah sebuah adagium dari Rene Descartes menegaskan aktifitas berfikir dalam filsafat adalah persoalan eksistensial. Keberadaan seseorang adalah dilihat dari kreativitasnya dalam berfikir, tidak berhenti untuk tidak bertanya, meragukan sesuatu yang dianggap orang lain sebagai hal yang mutlak benar (skeptisisme) juga dilakukan oleh Socrates. Sikap skeptis merupakan satu kunci dalam aktivitas berfilsafat. Sikap inilah yang selalu menghadirkan proses dialektis dalam wacana filsafat, yaitu setiap tesis akan mendapat tandingan berupa anti tesis yang kemudian menghasilkan hipotesis (tesis baru).
Skeptisisme dan dialektika dalam wacana filsafat juga mendorong terus terjadinya dialog, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru, dan simpulan-simpulan baru. Socrates melakukan dialog sebagai cara dia berfilsafat dengan mengajak setiap orang yang ditemuinya untuk berdiskusi, mempertanyakannya hal-hal yang dianggap telah benar secara umum. Begitu banyak dan detail pertanyaan yang diajukannya kepada lawan bicaranya sehingga menimbulkan keraguan dan memaksa lawannya itu mempertanyakan kembali asumsi-asumsi kebenaran yang telah dianggapnya benar sebelumnya.
Art of Thinking
Aliran-aliran filsafat dalam setiap cabang ilmu filsafat menunjukkan ragamnya dialog dan cara berfikir dan mengapresiasi setiap tesis yang mengemuka atau dalam pencarian kebenaran (truth). Sehingga bagi para filsuf, berfikir, bertanya dan berdialog adalah juga sebagai seni (art). Berfikir secara konseptual, logis, koheren, konsisten merupakan sebuah seni yang membuat para filsuf berekstase dan memunculkan hikmah, kebenaran (truth), pernyataan (tesis) yang mendalam dan mempesonakan.
Seni bertanya dalam berfilsafat tidak terbatas pada hal-hal yang sifatnya diskursus semata, tapi bisa berangkat dari hal-hal yang kecil di sekitarnya. Dengan memberikan perhatian kepada hal-hal kecil dan konkret inilah filsafat diturunkan ke dalam keseharian dan kehidupan praktis. Seni bertanya (art of thinking) juga creative thinking sangat bermanfaat dalam mendobrak (dekonstruksi, dalam bahasa filsafat postmodern) kejumudan, dan status quo atau anti perubahan. Dengan bertanya kita dituntut untuk selalu melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam karya-karya kita.
Mari berfilsafat…..!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H