Masalah ini awalnya diatasi dengan memaksa pejabat kolonial Belanda untuk tetap mengisi posnya. Solusi itu tidak bertahan lama karena banyak pejabat kolonial yang mogok kerja bahkan dieksekusi oleh Militer Jepang. Solusi berikutnya adalah mempromosikan masyarakat pribumi di departemen atau pos yang sama untuk menggantikan pejabat kolonial tadi.(Benda, 1956)
Selain masalah administrasi, Jepang juga menghadapi masalah lain berupa resistensi dari masyarakat pribumi Indonesia. Tentu dengan adanya simpatisan yang pro-Jepang pasti ada juga resistensi yang kontra-Jepang, mereka yang melihat (dan memprediksi dengan tepat) bahwa Jepang hanya akan menjadi bangsa Penjajah yang lain dan bahkan lebih parah dari bangsa Belanda sebagai Bangsa Penjajah.
Untuk mengatasi resistensi ini, Jepang mendirikan banyak sekali lembaga, gerakan, maupun organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan simpati masyarakat pribumi terhadap Jepang dan meningkatkan keinginan masyarakat pribumi untuk bekerja sama dengan Jepang. Untuk memuluskan usaha -- usaha dari berbagai organisasi ini, banyak tokoh -- tokoh agama dan tokoh -- tokoh nasional yang direkrut oleh Jepang sebagai garda terdepan untuk berkomunikasi dengan masyarakat pribumi.(Huff, 2020)
Banyak dari organisasi yang dibentuk oleh Jepang pada akhirnya mengalami penurunan efektivitas dalam menggalang dukungan dari kelompok Pribumi. Setelah Jepang mulai mengalami kekalahan perang di Front Pasifik, semakin banyak bentuk kekejaman dan eksploitasi yang dilakukan oleh Jepang di seluruh wilayah jajahannya.
Jawa Hokokai yang awalnya dibentuk untuk menggalang sumber daya berupa bahan pangan yang bertujuan untuk menjaga masyarakat dari kondisi famine dimanfaatkan untuk mempekerjakan masyarakat secara paksa dalam bidang agraria yang hasilnya kemudian dirampas untuk bahan makanan tentara perang. PETA yang tadinya dibentuk untuk melatih warga pribumi dalam mempertahankan diri dari serangan sekutu mulai diawasi secara ketat, bahkan dikurangi porsi latihannya. Akibatnya, makin banyak protes yang datang dari masyarakat Indonesia terhadap Pemerintahan Kolonial Jepang.
Meningkatnya resistensi dan desakan tentara Sekutu yang semakin dirasakan oleh militer Jepang membuat Pemerintahan Kolonial mulai membicarakan hal yang sebelumnya sangat tabu pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, pembicaraan mengenai otonomi dan kemerdekaan. Jepang merasa bahwa untuk kembali menggalang simpati dan agar dapat dengan mudah memanfaatkan masyarakat Indonesia demi kepentingan perangnya, Jepang harus mulai memberikan konsesi kepada masyarakat Indonesia.
Hal ini tentu saja dicium dan disambut dengan baik oleh para tokoh nasional, yang memiliki agenda sendiri untuk meningkatkan nasionalisme Indonesia dan tentu saja mencari kebenaran untuk bangsa Indonesia dalam bentuk kemerdekaan. Akhirnya, pada tanggal 05 September 1943 Jepang membentuk Dewan Pertimbangan Pusat atau Chuo Sangi-In dan Dewan Pertimbangan Keresidenan atau Chuo Sangi-Kai sebagai wadah bagi tokoh nasional Indonesia untuk "memberikan saran dan masukan serta tinjauan terhadap kebijakan pemerintahan Jepang di Indonesia.(Yasmis, 2007)
Dibentuknya Chuo Sangi-In memberikan angin segar bagi para tokoh nasional. Banyak diantara mereka yang percaya terhadap good-will Pemerintahan Kolonial Jepang dan Kembali bertindak kooperatif dibawah lembaga ini. Dilain sisi, Chuo Sangi-In juga menjadi alat bagi Pemerintahan Kolonial Jepang untuk mengontrol dan mengawasi para tokoh nasional, meskipun dengan kedok berupa konsesi dan janji kemerdekaan. Dalam perkembangannya, akan terlihat bahwa Chuo Sangi-In memang merupakan pisau bermata dua yang diciptakan oleh Jepang untuk kepentingannya di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI