Mohon tunggu...
Ubaidillah Bin Zarkasyi
Ubaidillah Bin Zarkasyi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hidupku Matiku Hanya Untuk-MU

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

3 Faktor Pendukung Program Indonesia Emas 2045

31 Mei 2024   02:06 Diperbarui: 31 Mei 2024   05:55 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

3 Faktor Pendukung Program Indonesia Emas 2045

 

Pendidikan sangat erat kaitannya dengan kemajuan suatu negara. Hal tersebut dapat dengan mudah diraih apabila negara dapat mengatur sistem pendidikan dengan baik dan benar. Indonesia pada saat ini sedang menggaungkan Indonesia emas 2045. Setidaknya ada tiga faktor yang mampu mendukung program Indonesia emas 2045. 

Faktor pertama, pendidikan keluarga. Tempat pendidikan pertama itu adalah rumah di mana para gurunya ialah ayah dan bunda atau orang yang dituakan yang berada di dalam rumah tempat tinggal si anak. Pola, metode, dan model pendidikan yang diberikan di rumah menjadi pondasi karakter dalam menjalani kehidupan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. orang tua harus memberikan pendidikan yang berpondasi pada aturan agama yang telah Tuhan ciptakan untuk ummat manusia dan juga berpondasi pada konstitusi negara yang telah dibuat oleh para pendiri bangsa Indonesia. 

Apabila orang tua membiasakan keburukan dalam hal sekecil apapun maka akan berpengaruh bagi anak dalam berhubungan dengan sesama makhluq maupun ketika berhubungan dengan Tuhan-NYA. Seperti contoh pembiasaan pendidikan berbohong, diamana orang tua yang izin pergi sebentar padahal lama, atau kebohongan-kebohongan lain yang orang tua anggap hal sepela namun memiliki dampak yang luar biasa untuk masa depan anaknya. Oleh karena itu pentingnya para orang tua atau calon orang tua yang memahami bagaimana cara mendidik anak yang baik dan benar menurut agama dan negara. 

Orang tua kedua anak adalah guru di sekolah, mereka menjadi ujung tombak dari keberhasilan tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri[UU No 14 Pasal 6 Tentang Guru dan Dosen, 2005]. Meskipun demikian sangat disayangkan dari 3.924.599 jumlah guru di Indonesia yang mana 1.883.807 sekitar 48% merupakan guru honorer[Badan Pusat Statistik, Jumlah Guru di Indonesia, 2023] yang menerima gaji yang sangat sedikit dari pemerintah melalui dana bos setiap tiga bulan sekali, meskipun pendidikan di Indonesia sendiri memiliki anggaran dana sebanyak 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)[UU No 20 Pasal 49 Ayat, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003] yaitu sekitar Rp608,3 Triliun[Sri Mulyani, Rapat Kerja DPR RI Dengan Mentri Keungan RI dan Gubernur Bank Indonesia, 2022], naik menjadi 665,02 Triliun pada tahun 2024, dan akan naik lagi pada tahun 2025 mendatang menjadi 741,7 Triliun.[Fuji Pratiwi, Kemenkeu Naikkan Anggaran Pendidikan 2025, 2024] 

Dengan demikian menjadi bukti bahwa Indonesia masih belum mampu untuk menyejahterakan seluruh guru di Indonesia dan sekaligus menjadi tanda tanya mengapa jumlah guru honorer dapat sebanyak itu, apakah karena dana APBN untuk pendidikan masih kurang dalam pengelolaannya. Hal ini berdampak pada menurunnya minat cita-cita menjadi guru sehingga pada waktu tertentu Indonesia pasti akan kekurangan guru dan lebih parahnya lagi berdampak pada kemerosotan moral bangsa, apabila kesejahteraan guru tidak menjadi skala prioritas utama para pemangku kebijakan.

 Faktor pertama ini menjadi pondasi atau akar akhlaq generasi emas yang in syaa Allah ketika sudah terjun di dunia kerja tidak lagi tergiur oleh iming-iming duniawi karena sudah memiliki bekal keyakinan yang kuat dalam berpegang teguh dengan prinsip hidup sesuai aturan agama dan negara yang telah orang tua ajarkan di rumah.

Faktor kedua, sistem pendidikan di Indonesia yang ikut berperan besar dalam kelahiran banyaknya generasi penerus bangsa yang tidak jujur seperti contoh dasar adanya kelas yang diunggulkan dan lembaga pendidikan yang difavoritkan baik dari pemberian fasilitas yang lebih baik dari segi kualitas guru yang mengajar di kelas, kuantitas dan kualits dari sarana dan prasana belajar yang diberikan lembaga pendidikan tersebut maupun dari kementrian terkait. 

Hal tersebut memicu persaingan sehat juga persaingan tidak sehat baik oleh peserta didik yang hendak belajar di lembaga pendidikan tersebut maupun guru yang hendak mengajar di lembaga pendidikan tersebut. Apabila sudah masuk guru tidak boleh memberikan nilai raport lebih rendah dari semester sebelumnya, apalagi membuat peserta didiknya tidak naik kelas. 

Meskipun sebenarnya peserta didiknya sendiri tidak mampu untuk meraih nilai tersebut atau bahkan tidak layak untuk naik kelas, hanya untuk grafik nilai peserta didiknya naik. Sehingga ketika penerimaan peserta didik baru pada jenjang berikutnya peluang diterima di lembaga pendidikan favorit semakin tinggi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun