Mohon tunggu...
Ubaidatul Fathonah
Ubaidatul Fathonah Mohon Tunggu... -

tinggalkan dunia dan biarkan dunia mengejar kita

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masa Lalu Jadi Identitas

8 Desember 2014   15:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:48 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Masa kelam yang menjadi identitas ku sekarang berawal dari sebuah keluarga yang tak ingin ku miliki. Sebuah keluarga yang setiap harinya dihisasi dengan pertengkaran dan percekcokan saja. Sungguh sangat mengiris hati. Keluarga yang selalu menjadi tempat kembali berubah menjadi neraka dunia yang tak ada seorang pun mau merasakannya.

Aku tak habis piker mengapa oang tuaku tega menodai perkawinan mereka yang telah terbina 20 tahun lalu. Akutak mengerti apa yang mereka inginkan. Emosi sesaat hancurkan kenangan indah yang dilalui bak tsunami yang memporak-porandakan Aceh delapan tahun silam. Sebuah ucapan yang tak seharusnya ada dalam ikatan sacral. Itulah perceraian.

Kebahagiaan yang ingin dirasakan setiap orang dalam keluarganya harus sirna karena perceraian.kurindukan keluarga utuh nan harmonis seperti teman-temanku yang lain. Ibu… ayah… aku dan adikku bukanlah boneka yang disimpan dalam lemari. Kami butuh perhatian dan kasih sayang kalian, mengapa kalian tak memikirkan nasib kami, mengapa dengan gampangnya perceraian itu menjadi solusi kesalahpahaman kalian.

Entah ku harus bagaimana menyikapi semua ini. siapa yang tak akan kecewa ketika melihat orang tua yang tak sepaham. Kekecewaanku berakhir dengan pikiran bahwa mereka bak anak kecil yang selalu ingin dituruti apa maunya, tana menghiraukan bagaimana untuk memenuhi keinginan tersebut.

Akhirnya ketukan palu putusan hakim menyetujui perceraian itu. Tepat 5 Februari 2012. Tak terasa air mata pun memasahi pipiku. Sungguh tak kuat ku menahan semua ini. akhirnya ku putuskan untuk pergi dari rumah untuk menenangkan diriku juga pikiranku. Namun di setiap jalan yang ku lalui, selalu ku melihat kebahagiaan keluarga yang sangat aku harapkan dari keluargaku sendiri. “Oh, Tuhan.. andai keluargaku seperti mereka, andaiaku yang menjadi anak itu, andai kenyataan ini tak pernah terjadi” pikirku. Kini hati dan pikiranku semakin resah gelisah tak karuan.

Entah apa yang harus aku lakukan, aku tak kuat dengan semua beban hidup ini. setan pun menjadi pemenang dalam pemilihan jalan yang harus aku pilih dalm hidupku. Ku jual handphone ku untuk membeli miras. Aku harus terjerumus dalam jurang kenistaan itu ketika ku baru berusia 17 tahun. Tak sadar tubuhku lemas tak berdaya dan semenjak itu aku batuk darah dan menjadi pecandu minuman.

Kesenangan itu akhirnya aku rasakan ketika semua beban pikiranku hilang karena minuman itu, meski hanya sesaat. Ketika kesadaranku pulih dan beban pikiranku teringat kembali selalu ku akhiri dengan minuman itu. Hinga uang yang aku punya habis karena minuman. Setiap masalah datng aku selesaikan dengan minuman. Karena dialah teman setiaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun