Mohon tunggu...
Muhammad Ubaidillah
Muhammad Ubaidillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Jakarta

Perkenalkan nama saya Muhammad Ubaidillah lahir di Jakarta pada tanggal 21 Oktober 2002, Saya adalah Mahasiswa UIN Jakarta semester 7 fakultas dakwah dan ilmu komunikasi jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Hobi saya menulis dan bermain badminton hanya itu profil singkat saya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sejarah Penyembahan Berhala di Makkah: Jejak Transformasi Kepercayaan Kaum Quraisy

26 Desember 2024   14:00 Diperbarui: 26 Desember 2024   13:32 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada masa awal, suku Quraisy dikenal sebagai penjaga tradisi agama Nabi Ibrahim dan Isma'il, yang berlandaskan tauhid serta menyembah Allah Yang Maha Esa. Namun, tatanan ini berubah drastis dengan kemunculan ‘Amr bin Amir bin Luhai al-Khuza'ly, sosok yang pertama kali memperkenalkan penyembahan berhala di Makkah. Amr bin Luhai yang merupakan pemimpin suku Khuza’ah, membawa perubahan besar setelah melakukan perjalanan ke Syam. Di sana, ia menyaksikan masyarakatnya memuja patung-patung berhala. Terpesona oleh praktik tersebut, ia membawa berhala-berhala itu ke Makkah dan mendirikannya di sekitar Ka'bah. Salah satu berhala utama yang diperkenalkan adalah Hubal, yang kemudian menjadi pusat pemujaan masyarakat Quraisy. 

Praktik berhalaisme yang berkembang di Jazirah Arab diperkirakan berasal dari peradaban Nabath di kawasan al-Batra' (Petra), wilayah yang kini menjadi bagian dari Yordania. Bangsa Nabath dikenal memiliki peradaban tinggi dalam seni pahat dan perdagangan. Mereka menciptakan berbagai patung dewa seperti al-Lata, yang didatangkan ke Hijaz untuk disembah oleh masyarakat setempat. Philip K. Hitti dalam Sejarah Siria dan Lebanon menyebutkan bahwa dewa-dewa seperti Dzu asy-Syirā, al-Lata, al-'Uzza, dan Manat memiliki kaitan erat dengan tradisi keagamaan Nabath, yang turut menyebar ke wilayah Makkah melalui jalur perdagangan dan interaksi budaya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Najm ayat 19-20 yang berbunyi :

اَفَرَءَيۡتُمُ اللّٰتَ وَالۡعُزّٰىۙ

 Artinya: Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (berhala) Al-Lāta dan Al-'Uzzā, (An-Najm :19)

 وَمَنٰوةَ الثَّالِثَةَ الۡاُخۡرٰى

‏Artinya: dan Manāt, yang ketiga yang paling kemudian (sebagai anak perempuan Allah). (An-Najm :20)

Al-Lāta dan al-‘Uzza merupakan dua objek yang dihormati oleh masyarakat Arab pada masa lalu, masing-masing memiliki ciri khas dan tempat yang disakralkan. Al-Lāta adalah sebuah batu besar berwarna putih dengan ukiran berbentuk rumah di permukaannya, terletak di wilayah Ṭaif. Batu ini dikelilingi oleh tabir dan sebuah teras yang dianggap suci, terutama oleh masyarakat Ṭaif, termasuk Kabilah Ṣaqif dan para pengikutnya. Mereka menghormati Al-Lāta dengan penghormatan yang bahkan melampaui sebagian besar suku Arab lainnya, kecuali kaum Quraisy. Sementara itu, al-‘Uzza, menurut Ibnu Jarīr, berasal dari kata‘Azīz dan merujuk pada sebuah pohon yang berada di Nakhlah, wilayah di antara Mekah dan Ṭaif. Pohon ini dilengkapi dengan sebuah bangunan bertirai di atasnya dan diagungkan oleh kaum Quraisy. Kedua objek ini mencerminkan keyakinan serta penghormatan spiritual masyarakat Arab terhadap simbol-simbol tertentu sebelum datangnya ajaran Islam.

Berhalaisme di Arab juga dipengaruhi oleh tradisi keagamaan Siria dan Yunani yang berkembang di Syam. De Lacy O. Leary dalam Arabia Before Mohammed menjelaskan bahwa penyembahan berhala di Arab bermula dari praktik-praktik keagamaan yang berkembang di Siria, yang kemudian merambah Jazirah Arab melalui interaksi budaya dan perdagangan. Proses ini berlangsung bertahap, dengan patung-patung awalnya hanya berfungsi sebagai perantara (wasilah) dalam ibadah, hingga akhirnya menjadi objek penyembahan utama (ghayah). Ketika Islam hadir, ajarannya secara tegas menolak segala bentuk kemusyrikan dan penyembahan berhala. Syariat Islam bertujuan mengembalikan masyarakat kepada tauhid murni dengan menutup celah munculnya tradisi yang dapat mengarah pada kultus individu, penghormatan berlebihan terhadap benda, atau penyucian terhadap peninggalan sejarah. 

Fenomena penyebaran berhalaisme di Makkah mencerminkan dinamika transformasi keagamaan yang berlangsung seiring waktu, didorong oleh interaksi budaya dan pengaruh eksternal. Islam muncul sebagai koreksi atas penyimpangan ini, membawa misi untuk menghidupkan kembali ajaran tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan Isma'il. Sejarah ini menjadi pengingat bagi umat manusia agar menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan ibadah, memurnikan keyakinan, dan tidak terjerumus dalam tradisi yang melupakan esensi keimanan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun