SVB ini merupakan jenis bank yang memang dibutuhkan oleh para start up. Karena sebagai start up, biasanya akan kesulitan ketika ingin meminjam uang di bank. Dan hanya SVB ini yang berani menyalurkan dananya kepada para start up.
Kenapa SVB bangkrut?
Saat pandemi melanda, suku bunga di Amerika itu sangat rendah. Dan kondisi ekonomi sedang buruk. Sehingga bank semakin berhati-hati dalam penyaluran dananya. Karena kehati-hatian itu, maka dana yang mengendap di bank itu sangat besar.
Maka mau tidak mau, bank harus mencari instrumen investasi lain, agar bank tetap bisa mendapatkan keuntungan. Akhirnya SVB pun mengambil langkah dengan membeli obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun.
Sebenarnya obligasi pemerintah bisa dikatakan instrumen investasi yang cukup aman. Namun obligasi ini memiliki resiko, yaitu resiko likuiditas. Karena tenor dari obligasi ini adalah 10 tahun. Tapi sayangnya uang yang diinvestasikan asalnya adalah uang jangka pendek yang bisa ditarik kapan aja.
Masalah muncul ketika The Fed mengambil kebijakan untuk menaikkan suku bunga, yang menyebabkan nilai aset SVB pun menurun. Ditambah dengan adanya startup crashing. Karena start up dituntut untuk menjadi lebih efisien.
Akhirnya, banyak startup yang membutuhkan dana menarik saldonya dari SVB. Karena SVB tidak punya cukup uang cash, akhirnya SVB memutuskan untuk menjual murah obligasi pemerintah yang dimilikinya. Karena suku bunga yang sudah dinaikkan.
Akibat hal ini muncul isu yang kurang baik, sehingga semakin banyak deposan SVB ini yang menarik dananya.
Gimana dampaknya ke Indonesia?
Ada beberapa dampak yang akan menimpa Indonesia. Mungkin tidak seberat seperti tahun 1998.
Hal yang paling dirasakan adalah rontoknya dunia Start up. Terutama yang dananya disalurkan melalui SVB. Rontoknya start up kemungkinan besar berdampak pada banyaknya pemutusan hubungan kerja atau PHK.