Wacana Masyarakat Madani (baca: civil society) merupakan wacana baru yang muncul sekitar permulaan tahun 90-an di Indonesia. Wacana masyarakat madani seakan menjadi hal baru dari sebagian masyarakat kita. Padahal konsep masyarakat madani telah berkembang di Barat yang kemudian seolah-olah hilang dari perdebatan wacana Ilmu sosial modern. Wacana ini kemudian dihidupkan dan dikembangkan kembali sebagai wacana politik kultural modern yang kemudian dikaji dan dikembangkan bahkan diadopsi secara antusias termasuk di Indonesia.
Di Indonesia pada awal pertumbuhannya yang dimulai dengan Revolusi pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa kita sepakat untuk berbangsa dan bernegara dengan bentuk Republik yang berarti bahwa kekuasaan dan kedaulatan negara sepenuhnya ditangan Rakyat. Hal ini sesungguhnya telah menjadi momentum awal penghapusan sistem feodal kenegaraan yang kurun waktu sebelumnya berkuasa di belahan Nusantara. Bentuk Republik ini telah memberikan angin segar dan penghapusan penindasan danketidak berdayaan rakyat yang dialami selama kurang lebih 3,5 abad yang lalu.
Namum realitas yang ada sesudah diberlakukannya sistim pemerintahan republik di Indonesia, penindasan dan ketidak berdayaan rakyat terhadap penguasa masih berlaku. Pada masa orde Lama dan Orde baru justru “Neofeodalisme” masih berlaku dan bahkan sudah sangat sulit untuk dihilangkan. Kekuasaan dan kedaulatan ditangan rakyat hanya sebatas “retorika” dari para penguasa. Arti kedaulatan rakyat yang didambakan dan dicita-citakan yang telah dirumuskan secara jelas sebagai dasar negara masih belum berjalan secara maksimal. Hal ini berimplikasi pada sikap penguasa rezim orde lama dan orde baru yang cenderung menampakkan sikap sebagai penguasa ketimbang sebagai pamong. Berbagai perintah, petunjuk dan arahan secara dominan masih mewarnai komunikasi antara pejabat dan rakyatnya. Selain hal tersebut warisan penjajah kolonial pun masih tampak dikalangan kelompok warga tertentu yang kebetulan memiliki strata sosial yang lebih tinggi dari kelompok lainnya.
Disisi lain, masyarakat Indonesia pada dasarnya masih “enggan” untuk melepaskan diri dari tatanan lama, masyarakat terbiasa dengan sikap ketergantungan pada penguasa atau pimpinan, yang diwujudkan dalam bentuk sikap dan loyalitas yang sempit. (Musa Kazhim (Ed) Bandung, 1998) Hal ini terbukti dari persfektif teoritis tentang watak hubungan negara-masyarakat. Padahal,dominasi negara atas masyarakat menjadi ciri utama Pemerintahan Orde Baru dimana kehidupan politik di Indonesia amat sangat diwarnai dan didominasi oleh negara.
Menurut Andrew Macinyre (1990) dengan perspektif neoprularis, Macinyre memperlihatkan bahwa unsur-unsur tertentu masyarakat bisnis Indonesia memiliki pengaruh lebih besar terhadap penentuan kebijakan. Dari persfektif strukturalis, telah menunjukkan pentingnya kelas kapitalis pribumi di bawah pemerintahan orde baru. (Richard Robinson, 1996)Bahwa penentuan kebijakan terhadap masyarakat sangat dipengaruhi oleh kelas kapitalis yang menyebabkan praktek penindasan terhadap komunitas lain dalam strata kehidupan masyarakat.
Diluar komunitas tersebut diatas, praktek-praktek “diktator” benar-benar masih didominasi oleh negara, sebagaimana dinyatakan oleh Robinson (1993: 45) bahwa “sumber kekuasaan politik dan kepemimpinan politik dalam perangkat negara sendiri, dan kekuasaan politik dan wewenang birokrasi dirangkap oleh para pejabat negara. (Andrers Uhlin, Bandung: Mizan, 1998) Konsekwensi logis dari hal tersebut adalah kembalinya primordialisme yang semakin mengental yang berdampak langsung padaperpecahan dan disintegrasi bangsa.
Dari realitas kehidupan masyarakatIndonesia tersebut diatas maka perubahan sudah menjadi keharusan dalam sistem pemerintahan negara kita. Terhadap perubahandan perkembangan ini, khususnya perubahan sikap maupun tatanan masyarakat sebagai akibat evolusi sebagaimana diingatkan John Naisbitt, (John Naisbitt, Jakarta: 1994) bahwa perubahanakan menimbulkan benturan pola-pola hidup sosial tertentu. Dan benturan itu tidak akan mengakibatkan berbagai krisis pada berbagai tingkat kehidupan.
Menurut Nurcholis Madjid (Kaki Langit peradaban Islam, 1997) realitas perubahan itu harus dihadapi secara “given” dan harus ditrerapkan “strategi” untuk menghadapinya. Jika perubahan sosial dengankrisis-krisis yang ditimbulkan itu tidak diantisipasi dengan baik akan menciptakan lahan yang subur bagi gejala-gejala radikalisme, fanatisme, sektarianisme, fundamentalisme, ensklusivisme dan hal lain yang serba negatif.(Adam B. Seligman, New York: 1992)
Dari realitas tersebut diatas ancaman disintegrasi bangsa terhadap negara Kesatuan Republik Indonesiaakan terjadi jika pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mencarikan solusi dan strategi yang terbaik dalam mengantisipasi dampak negatif dari perubahan itu sendiri. Wacana Masyarakat Madani atau Civil Society menjadi sebuah keharusan untuk kemudian menjadi salah satu alternatifdari upaya penciptaan tatanan masyarakat hukum yang terbebas dari penindasan dan ketidak adilan. Yang kemudian pada akhirnya akan mengantar bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia menuju tatanan Masyarakan Baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H