Ketika sedang asyik duduk di depan layar komputer, tiba-tiba saja listrik padam. Tapi, alhamdulillah sudah saya save. Gelap. Lilin-lilin dipasang di tengah atau di pojok ruangan. Merokok pun tidak terasa nikmat karena asapnya tak jelas. Untung ada penerang kecil yang bisa membuat asap-asap rokok tampak berhamburan.
Pada saat listrik padam, cobalah kamu berkeliling ke rumah-rumah tetangga. Mereka tidak akan memproduksi makanan atau menjalankan saluran air di kamar mandi jika listrik lagi mati. Anak merengek-rengek, ibu mengeluh, ayah berusaha mencari lilin sebagai penerang, sang kakak yang biasanya nonton tv, akhirnya harus “berpuasa” dari nonton tv.
Atau, kalau mau bereksperimen, suatu saat ketika listrik sedang hidup, kamu pergi ke Kantor PLN dan matikan listrik tanpa sepengetahuan petugas. Maka, desa, kecamatan, atau bahkan kota, listriknya mati semua. Dengan demikian, kamu bisa berkeliling melihat-lihat Kantor Polisi, sekolah-sekolah negeri, mall, hotel berbintang lima, dan tempat-tempat besar lainnya. Lihatlah, mereka semua mandeg.
Ekonomi, politik, budaya, dan tradisi, akan buyar jika tanpa listrik. Pabrik-pabrik bisa bangkrut. Coba kamu bayangkan, ketika bos dan karyawan-karyawannya mendapati listrik padam, berapa banyak kerugian pabrik yang harus mereka tanggung bersama-sama. Presiden dan menteri-menterinya leren. Warnet-warnet di pinggiran jalan sudah pada tutup pintu. Pengajian akbar yang diisi oleh muballigh yang populer taklagi berjalan dengan mulus. Segala hal jadi stagnan alias sukut.
Listrik adalah jantung peradaban modern. Tanpa listrik, aktivitas dan kegiatan berhenti, semu, takada yang bergerak. Orang kalau tidak punya jantung, mati, takterbata-bata sedikit pun.
Tetapi, kenapa orang-orang dulu bisa beraktivitas tanpa listrik? Tahukah kamu, Imam Suyuthi mampu mencipatakan 1092 karya tanpa menggunakan listrik. Bahkan, beliau tidak mengenalnya sedikit pun selama hidupnya. Imam al-Ghazali, Said bin Musayyab, Rasulullah, pada masa yang sangat lampau, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan terus hingga Nabi Adam, tidak menggunakan listrik sama sekali. Tapi mengapa peradaban berjalan sebagaimana mestinya.
Tentunya, peradaban dulu dan peradaban sekarang berbeda. Sekarang, menuntut adanya listrik. Dulu tidak. Karena keperluan peradaban para tokoh itu berbeda dengan kita sekarang.
Akan tetapi, mari sejenak merenung. Ternyata, matinya listrik seakan membawa kita kepada fitrah dan kehidupan sejati. Aku akan mengajakmu berpikir, jika listrik hidup, kita akan melihat segalanya di sekitar kita, dan kita tertarik untuk mendekat lalu melakukannya. Tapi ketika listrik mati, kita tidak dapat melihat apa pun, sehingga pikiran kita nyaris kosong, dan saat itulah barangkali kita bisa berfokus untuk berhadapan dengan Tuhan.
Tidak adanya listrik tidak selalu identik dengan menurunnya produksi. Setidak-tidaknya, matinya listrik membawa kita pada alam untuk memperoleh ilmu baru, ketenangan hati dan rohani, mengasah spiritualisme kita dengan Allah. Kita bisa melakukan shalat Tahajud dengan khusyuk, bertafakkur, berzikir, dan memperbanyak hal secara spiritual ataupun intelektual. Mati atau hidupnya listrik bukan jadi masalah, tapi kebiasaan penggunaan. Maka, kita dituntut untuk cerdik dan pintar memanfaatkan momen terhimpit untuk menciduk sebuah produktivitas, artinya, kemampuan untuk menghasilkan sesuatu, daya produksi, keproduktifan yang tentu tidak profan, harus kita latih ketika dalam keadaan terhimpit. Jika saat terhimpit bisa, tentu saat luang lebih bisa lagi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H