Wawancara dengan KH. Abdul Muiz Tirmidzi, Pengasuh Pondok Pesantren Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, Bondowoso
Respon masyarakat terhadap eksistensi Kejawen di Indonesia menimbulkan polemik yang tidak kunjung mencapai final.Ada yang menyatakan, Kejawen adalah sebuah budaya yang harus dilestarikan.Ada pula yang menyatakan bahwa Kejawen tidak hanya sekedar budaya saja, namun juga berupa aliran dan ideologi yang meresahkan umat Islam karena pengikut-pengikutnya
mengklaim diri mereka beragama Islam. Sehingga, beredarlah nama Islam Kejawen
di telinga masyarakat. Lantas bagaimana Islam memandang Kejawen ini?Berikut wawancara saya dengan KH.Abdul Muiz Tirmidzi, di dalem dekat pesantren Beliau.
Menurut Kyai, Kejawen itu apa?
Kejawen itu kepercayaan atau ideologi. Kepercayaan Kejawen ini dari dulu mau dipaksakan untuk masuk dalam agama, tapi kan, gak masuk masuk.Karena memang hanya ideologi.
Bisa disebutkan ciri-ciri dari Kejawen?
Biasanya orang Kejawen itu ngakunya beragama Islam, tapi gak pernah ada hukum-hukum Islam yang dilaksanakan, seperti, cara mereka solat cukup nangis-nangis, menggetarkan hati saja. Ini carasalat mereka. Sehingga, di dalam salat gak ada yang namanya takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Amal-amalan yang lain pun juga seperti itu. Gak ada bentuk amalan sempurna, hanya dipercayai saja.
Secara spesifik, bisakah Kyai menyebutkan praktek-praktek yang sesat?
Kalau Kejawen tidak mengaku Islam, ya silahkan. Orang itu kan bebas mau beragama apa saja. Yang jadi rame itu karena ngakunya beragama Islam, tapi sebenarnya tidak Islam. Kalau Islam kan ada wudhu, salat, Jumat, puasa, dan haji. Harusnya begitu, dan semua amalan-amalan Islam harus dilakukan.Berarti harus sesuai syariat.Sedangkan mereka gak punya Syariat.Mereka hanya punya kepercayaan saja.Ibadahnya gak ada, ya hanya ileng saja.Orang di desa sini mengatakan bahwa Kejawen itu agama Ileng.
Islam Kejawen itu ada?
Ya enggak lah.Islam ya Islam. Umpama Islam Kejawen itu ada, nanti akan muncul Islam Madura atau istilahnya Maduren (tertawa).
Apakah kejawen banyak dimasuki tasawwuf dan tarekat?
Mereka itu hanya berbicara seperti orang tarekat atau tasawwuf.Sebenarnya tidak demikian, karena kalau orang itu berbicara tarekat atau tasawwuf, gak bisa lepas dari Syariat.Loh, Kejawen ini sama sekali lepas dari Syariat. Ya gak ada kesamaan antara tasawuf dan Kejawen.Cuman, kadang-kadang mereka suka menukil hadis, seperti “Innallâha lâ yandzuru ilâ shuwarikum walâ a‘mâlikum walâkin yandzuru ilâ qulûbikum” (Allah tidak melihat pada bentuk fisik dan amal kalian, tetapi, Allah melihat pada hati kalian).Ini ya gak bisa, ini dalilnya orang Islam, atau dalilnya orang tasawwuf dan tarekat.Artinya, amalan itu bukan hanya hati saja, tanpa syariat.Seharusnya, syariat yang harus diwarnai dengan hati yang betul-betul ikhlas.
Apa reaksi dari ulama di Indonesia menanggapi hal seperti ini?
Untuk belakangan ini, karena Kejawennya kurang agresif, ya kita diam saja.Tapi, kalau dulu, pada jaman orde baru, rame sekali.Termasuk saya kalau pidato ke mana-mana, pasti nyinggung masalah Kejawen.
Bukankah apabila dibiarkan akan semakin mengakar?
Saya kira tidak juga. Karena mungkin mereka udahbosenakan memperjuangkan Kejawen. Saya jarang melihat ada orang Kejawen sekarang.Kalaupun ada, mereka itu pasif, gak ada gerakan apa-apa.Karena yang menjadi sebab adanya benturan-benturan adalah kalau mereka agresif, suka ngajak-ngajak orang.Kalau mereka tidak ngajak-ngajak, terserah mereka mau apa saja.
Apakah semua ritual-ritual Kejawen itu salah?
Pokoknya, kalau mengaku Islam ya salah. Kalau Kejawen itu dianggap agama lain, ya silahkan. Yang benar itu menurut mereka.Kalau menurut Islam ya jelas salah.Adat-adat kebiasaan apabila tidak mengarah pada maksiat, gak papa. Kalo seperti nginjak telur kan mubadzir, sekecil apa pun mubadzir itu dilarang. Mestinya umat Islam jangan melakukan itu, karena, ada unsur mubadzir.Adat kebiasaan yang bukan Islam banyak diadopsi oleh Islam, tapi adat kebiasaan yang gak bertentangan dengan Islam.Kalo adat kebiasaan seperti itu (nginjak telur), maka bertentangan dengan Islam.Kalau seperti membakar kemenyan, itu bagus, tapi kemenyan yang harum.Nabi mempunyai seorang tukang bakar kemenyan bernama Abu Nuaim.Orang Islam gak mungkin membantah itu, karena, itu adat yang baik.
Dalam tradisi Kejawen ada membakar kemenyan, dan dalam Islam itu juga dianjurkan, bagaimana Kyai?
Gak papa, namun kemenyannya jangan yang baunya gak enak, tapi kemenyan yang baunya enak.Ya sebenarnya kemenyan memang tradisi yang ada dalam Islam, hanya saja kebetulan bersamaan dengan Kejawen.Tidak bisa kita tinggalkan karena dalam Islam juga ada.Kalau dikatakan itu bidah gak bisa, sebab Nabi punya seorang tukang bakar kemenyan bernama Abu Nuaim. Wahhabi itu juga sama, tiap hari malah membakar kemenyan di Kabah. Jadi, kalau bakar kemenyan yang harum.Sekiranya kalau kena baju, meski udah seminggu, baunya tetap gak hilang.
Berarti, ada standart tersendiri untuk menyalahkan?
Ya ada.Standartnya syariat.Kalau sesuai syariat, meski mengadopsi dari mana saja, tetap saja diakui. Apabila tidak sesuai dengan syariat, meski yang melakukan orang Islam sendiri, kan gak benar.
Di kondisi sosial masyarakat seperti apakah Kejawen ini berkembang?
Dahulu, Indonesia ini beragama animisme.Kemudian datanglah Hindu dan bercampur dengan animisme.Lalu datang lagi Budha.Semuanya bercampuraduk jadi satu.Nah, baru datanglah Wali Songo.Diperbaiki oleh Wali Songo.Tapi, sampai sekarang masih belum tuntas.Inilah yang disebut Kejawen, yakni percampuradukan antara Islam, Hindu, dan Budha.Tapi Kejawen sangat jauh dengan Islam, lebih identik pada Animisme, Hindu dan Budha.
Bagaimana Kyai menanggapi orang-orang yang berdoa sambil menangis, tapi tidak pernah melaksanakan salat?
Ya gak benar itu.Menangis ketika berdoa itu diperintah.“Fa inlam tabkû fatabâkau” (Bila engkau tidak menangis, maka berpurapuralah untuk menangis).Tapi salat itu juga diperintah, bahkan salat tiang agama. Kalau hanya menangis saja tanpa melaksanakan salat, apa jadinya?
Benarkah ada pesantren yang demikian?
Saya gak pernah tahu.Kalau ada lembaga yang melakukan seperti itu, namanya bukan pesantren.Yang ada pesantren, hanya di Indonesia.Yang pertama mendirikan pesantren itu Wali Songo.Jadi, kalau ada Pesantren ada Kejawennya, namanya bukan Pesantren.
Telah lama di Indonesia ini mengakar budaya Kejawen.Tapi, yang menyebarkan adalah Kyai atau tokoh masyarakat yang paham Islam.Benarkah demikian?
Ya gak seperti itu.Saya gak percaya kalau ada seorang Kyai yang mengerti agama, tapi kental dengan Kejawen.Sebab, Kyai atau ulama pasti kembalinya ke kitab fikih, dan fikih kembali ke al-Quran dan Hadis.Kalau memang ada, mungkin pesantren yang masih Kejawen tapi berpegangan dengan Syariat. Seperti hitung-hitungan Aboge, yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Ini kan dipegang oleh umat Islam. Kalau orang Kejawen kan percaya bahwa hitung-hitungan ini ada hari nahasnya, padahal Nabi bersabda bahwa Allah berfirman “Lâ tasubbû ad-dahra fa innî ad-dahru”, Jangan kau caci maki hari, karena aku adalah hari. Artinya dalam agama Islam, hari nahas itu tidak ada, hari apapun itu.Dan memang sebenarnya, hari sial itu gak ada.Tapi, kalo Kejawen meyakini bahwa hari sial itu ada, dan sangat dipercayai.Padahal, ini adalah larangan dari Allah untuk menganggap ada hari sial.Kalo ada orang yang melanggar, bisa saja syirik, atau paling banter haram.Kejawen menganggap bahwa ada hari yang mendatangkan kebaikan dan ada hari yang mendatangkan kejelekan.Ini sangat parah sekali.
Bagaimana pandangan Kyai mengenai konsep wahdatul-wujûd atau manunggaling kawula gusti?
Sebenarnya hal seperti ini jangan dibahas. Seandainya memang ada orang seperti itu, kalau memang orangnya benar, gak mungkin cerita seperti itu. Dalam Syarhul Hikam disebutkan, kalau ada orang seperti itu, dia pasti diam. Maka dari itu, Syaikh Siti Jenar, setelah mencapai derajat tinggi, lalu ngomong, maka Sunan Giri langsung menghukumnya, lehernya dipenggal. Tapi, setelah sunan Giri melihat kenyataan bahwa darahnya Syaikh Siti Jenar membentuk kalimat Lâ ilâha illâhmuhammadun rasûlullâh, beliau mengatakan bahwa Syaikh Siti Jenar ini âmana qalbuhû wakafara lisânuhû. Karena memang orang yang lisannya kafir dipenggal.
Sejak kapan Kejawen menuai pro dan kontra?
Ya, sejak timbulnya.Mungkin sebelum Indonesia merdeka. Animisme, Hindu, dan Budha kan lebih tua dari Islam di Indonesia. Nah setelah Islam masuk, dan berbeda dengan mereka, sejak itulah timbul.Cuman, di jamannya Pak Harto atau Orde Baru, mereka diayomi, tapi kalau ngelamak diperangi.Sekarang ini gak ada orang yang seperti itu.
Aliran Kejawen biasanya mengental di mana?
Ya, sebab di sana masih ada Hindu dan Budhanya. Terpengaruh dengan Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Apa kiranya yang harus dilakukan oleh masyarakat awam untuk mengetahui bahwa Kejawen itu tidak benar?
Ya, kejawen itu bukan Islam.Kyai-kyai harus gencar. Setiap ada pertemuan apa pun itu ya harus disampaikan. Semisal kalau santri mau kawin, Kyainya jangan bilang “Nanti dikawinkan Jumat Legi saja, karena Jumat Legi begini begitu”.Ya gak usah seperti itu lah.Sebab hal itu identik dengan Kejawen.Kalau masalah tabarrukan, itu harus bil-khair, lil-khair, minal-khair. Kalau tidak seperti itu, ya bukan tabarrukan namanya.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H