Mohon tunggu...
Ufuqdhani Sumbayak
Ufuqdhani Sumbayak Mohon Tunggu... -

Hanya manusia biasa, berjalan dalam keadaan yang ada, belajar bersyukur dalam nikmat yang ada tetapi tetap berusaha.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nikamati Saja Wajar Adanya

21 Agustus 2010   12:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:49 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mentari menepi kala ruang jejak di tanah semakin dalam tak tertutupi, kehancuran hari ini cukup sampai disini. Malaikat hanya memberi makna pada kebaikan para iblis berkeringat keras mencuri perhatian, ragu berdiri kala saatsaat terjepit itulah kesempatan bercela. Haruskah malu pada kenyataan? Dunia berisi perumpamaan dan kita hanya sampel dalam kehidupan susah,sedih dan senang hanya rotasi sempurna dalam hidup dan aporisma meneduhkan jiwa. Satu persamaan ketika malaikat dan iblis mendekati manusia, mereka hanya ingin mempengaruhi dan semua penentunmya adalah diri sendiri. Engkau tlah memberi aku sukacita lebih dari pada mereka ketika mereka kelimpahan gandum dan anggur, embun slalu menyejukkan di pagi hari. Semeru, merbabu bukan nama sebuah gunung bagiku itu adalah paku tanah ini, dan segenggam batu menjadi ingatan. Siapakah berhak menghujatmu? Kala kamu sendiri lupa akan dirimu sendiri dan aku dan kamu juga bukan makhluk dari surgawi, kita hanya berdiri pada mentari yang sama. Gravitasi nafsu selalu ingin menang sendiri mencoba melawan dengan kesejatian diri dan ombak laut selalu saja memainkan pasir. Apa yang diungkap tak harus terungkap mengalir saja pada muara semestinya, ukiran terbias bukan sebuah kejahatan. Apa yang disesalkan? Kupukupu terbanglah semakin kian kemari, mendekatlah dengan objek yang diperebutkan malaikat dan iblis ini. Musim dingin kehidupan tlah dimulai tertawalah bersama diri, ceritakan kisah metamorfosismu. Intuisi ku menyala menjauh, sebentar lagi engkau akan kembali menjadi kepompong mengikuti sirkulasimu dan manusia hanya dedaunan kehijauan pada pohon kehidupan, angin meletakkan peranan pada permainan. Satu pesan halus aku titipkan, ketika engkau kembali menjadi kupukupu ingatlah tentang hari ini, kita bercengkrama pada kembang yang sama semoga ketemu di taman ini. Saatnya tiba kita terurai pada tanah yang sama. Dan aku hanya lapisan tanah liat mengandung unsur Yin dan Yang, mengikuti permainan panggung ini berharap notasi kehidupan menjadi birama keindahan. Eiensten melukiskan tentang kekekalan energi dan aku mencoba memahat tentang kekekalan kesejatian diri. Tak ingin dunia sedikitpun berkata, merasa yakin bila mereka takkan mengerti dan ketika semuanya seperti menuju kehancuran, cobalahlah mengerti bahwa ada yang mengerti. samina mina...e..e.. waka waka...e..e... Kebayoran lama,  Agustus 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun