Mohon tunggu...
Tengku Zulkarnaen
Tengku Zulkarnaen Mohon Tunggu... -

Menulis bukan untuk mencari sensasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menjadi Pemilih Pemula yang Kritis

31 Januari 2014   08:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:18 5127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_293103" align="aligncenter" width="554" caption="Pemilu 2014, Tentukan Pilihanmu !!! - Ilustrasi Flickr Vino"][/caption]

Di tengah munculnya skeptisisme orang muda terhadap fenomena politik kontemporer Indonesia, harapan pun mengiringi eksistensi mereka terhadap suksesi kepemimpinan politik. Suara kelompok ini amat strategis dari aspek kuantitas maupun kualitas vote di Pileg dan Pilpres 2014. Maka kesadaran kritis pemilih pemula adalah vitamin yang empuk bagi terwujudnya pencarian kualitas kepemimpinan politik. Namun, disitulah letak soalnya. Bagaimana mendorong nalar dan sikap kritis mereka agar turut menentukan wajah kepemimpinan politik di 2014?

Ada banyak analisis politik yang menyatakan pemilih pemula cenderung apatis terhadap politik. Terpaan informasi yang amat banyak dan kemuakan mereka terhadap praktek politik yang korup, busuk dan nir-nilai membuat apatisme ini kian menjadi pembenaran. Tapi benarkan apatisme yang patut disandingkan? Atau jangan-jangan kesadaran nalar kritis tak pernah diulek instutusi demokrasi yang mengemban tanggung jawab pendidikan politik warga? Aspek inilah yang seharusnya menjadi perdebatan dan diskursus public.

Apatis Versus Partisipasi

Tantangan besar pengembangan pemikiran kritis terhadap pemilih pemula adalah mengubah sikap apatis menjadi partisipasi. Perasaan enggan dalam mengeluarkan pendapat konstruktif menjadi indikator sikap apatis. Sikap apatis bisa diproduksi dari beberapa kenyataan. Pertama, realitas pendidikan yang makin mahal membuat tidak banyak mereka yang dapat mencicipi manisnya, ranumnya dan geliatnya dunia kampus. Di sisi lain, kelompok ini juga diterpa virus hidup hedonis personal dalam rupa: memilih fashion mahal, HP canggih, dugem, dan sebagainya. Di titik ini, pemilih pemula diharapkan tidak melulu berkubang pada rutinitas hedonistik. Namun, menujukan sikap partisipasi dalam masyarakat. Partisipasi bertujuan membangun ketahanan masyarakat, sekaligus ikut menentukan hitam-putih negeri ini

Pendidikan Kritis

Pendidikan kritis mendorong pemuda ikut terlibat aktif dalam pilihan-pilhan yang terjadi di masyarakat. Keaktifan itu ditunjukkan dalam berbagai sumbangsih pemikiran dan tindakan. Keaktifan pemilih pemula harus dilengkapi dengan kemapuan menganalisis fenomena sosial. Analisa kasus melibatkan pemahaman yang menyeluruh. Analisa semacam ini disebut dengan analisisi sosial. Analisis sosial merupakan usaha untuk memperoleh gambaran utuh mengenai sebuah situasi sosial. Pengenalan itu dilengkapi dengan menggali lebih dalam hubungan-hubungan historis dan strukturalnya.

Dalam konteks menghadapi pemilu legislative dan pilpres 2014, maka analisis sosial dapat dikemas dengan mengajukan pertanyaan kritis yaitu (1) Seperti apa kualitas Caleg dan Capres yang layak dipilih? (2) Mengapa kita patut terlibat dalam pemilu 2014? (3) Bagaimana cara Caleg dan Capres merumuskan Indonesia yg lebih adil dan sejahtera? (4) Bagaimana Caleg dan Capres merangkai masa depan Indonesia? (5) Apa yang pernah Caleg dan Capres perbuat bagi publik? (6) Sejauh mana posisi mereka terhadap pluralism dan kesadaran planeter?

Pendek kata, analisis ini bisa mengajak pemilih pemula masuk ke realitas secara kritis. Harapannya, Mereka dapat mengajak masyarakat mengalami pencerahan berpikir dan keterlibatan praksis. Paradigma kritis menjadi poin penting dalam kemasan pendidikan politik. Paradigma kritis dapat melatih pemilih pemula untuk mampu mengidentifikasi politisi busuk dan korup, sembari memilih pemimpin yang baik dan amanah.

Pendidikan kritis itu akan melahirkan komunitas pemilih kritis. Jika di setiap desa, kampung, kecamatan dan kabupaten terbentuk komunitas-komunitas pemilih pemula yang kritis maka akan timbul rasa kesatuan untuk membangun Indonesia baru yang beradab dan berkeadilan. Semangat inilah yang perlu digarap oleh institusi-institusi demokrasi: Pers, LSM, Perguran Tinggi, Lembaga Keagamaan/adat, dan Parpol. Jika asa ini menyertai, maka harapan kita menjadikan pemilih pemula sebagai actor, motor, dan stimulator bagi terpilihnya pemimpin amanah bukanlah sebuah utopiah.

Mari memilih dengan Cerdas !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun