"Dari mana, nak?" tanya saya pada Ika, anak kecil enam tahun yang tinggal di rumah saya.
"Dari nonton potong kurban di depan, semuanya sudah habis dipotong, Bu." Jawabnya dengan aksen kental jawatengahan dan ekspresi muka berbinar-binar.
"Rame banget, Bu. Tadi ada sapi yang berontak-berontak, kepalanya ditutup pakai kain..." masih dengan semangatnya dia menceritakan apa saja yang dia lihat pada pemotongan hewan kurban di halaman tetangga depan rumah.
Sambil memeluknya, saya tersenyum melihat semangatnya, walaupun dalam hati seperti ada tusukan-tusukan jarum. Saya tercenung, membayangkan bagaimana mata seorang anak melihat pertunjukan pemotongan hewan dengan sukacita. Saya bukan membicarakan pemotongan hewan kurban dalam konteks keagamaan, tetapi lebih bagaimana suatu tindakan yang kalau boleh saya kategorikan sadis, menghilangkan nyawa makhluk hidup tanpa belas kasihan di depan anak kecil. Sulit sekali buat saya, tidak sedemikian mudah menerangkan kepada anak kecil tentang arti pengurbanan melalui tindakan tanpa belas kasihan walaupun ‘hanya' terhadap hewan.
Selama ini kita menyalahkan adegan kekerasan di televisi sebagai salah satu biang keladi yang merusak jiwa anak-anak. Kita berusaha untuk menjauhkannya dari pandangan mata anak-anak dengan dalih menjaga mereka dari pengaruh buruk. Apakah kriteria contoh tindakan kekerasan yang dihindari hanya terbatas kepada manusia saja? Bagaimana dengan kegiatan yang langsung di depan mata terhadap hewan atas nama kurban yang diwajibkan dan dibenarkan?
Pertanyaan berikutnya, mungkinkah pemotongan hewan dilokalisir di tempat tertentu yang prosesnya tidak perlu dilihat anak-anak secara langsung? Rasa-rasa sih, akan lebih elok ketika kita berkurban tanpa mengurbankan yang lain.
catatan sehari setelah hari raya kurban
07.11.2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H