Mohon tunggu...
Tytiek Widyantari
Tytiek Widyantari Mohon Tunggu... Human Resources - Pengagum dan penikmat kehidupan

Mengamati, mencerna, menikmati... lalu tiduuuuur...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Minggat? Tidak Lagi

22 Desember 2013   21:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13877505601523125506

No. 310, Tytiek

[caption id="attachment_285478" align="alignleft" width="150" caption="makna hidup"][/caption] Melalui  Ibu yang mencariku dalam kisah ini, Sang Penyelenggara Kehidupan ingin aku bersaksi “Selalu ada arti dari setiap kita yang dihidupkanNya.”

Awal tahun 80-an. Hampir jam sepuluh malam.  Turun dari angkutan umum, tiba-tiba sejenis colt minibus berhenti di depanku.  Bapak rupanya.  Semula ada Bang Marta duduk di bangku depan, tetapi melihatku dia pindah ke belakang.   Di bangku belakang penuh tetangga-tetanggaku, kata Bapak mereka minta diantar ke Sawangan, jadi aku disuruh ikut mengantarkan.  Malam itu aku pulang kuliah, sementara besok pagi-pagi aku harus ke kantor bekerja sampai sore.  Rutin dari Senin sampai Sabtu, pagi aku bekerja dan sore harinya kuliah sampai malam.  Karena lelah sekali, tidak seperti biasanya yang selalu menurut karena takut, aku memberanikan diri menawar.  Bapakku adalah orang yang terbiasa diiyakan, terutama aku dan ibuku.  Penolakan berarti kemarahan.

“Pak, aku pulang jalan kaki saja ya?”  Dari turun angkutan umum ke rumahku masih kira-kira satu setengah kilometer lagi, jadi bisa jalan kaki atau naik ojeg.  Aku biasa jalan kaki, karena jelas lebih hemat.  Tiba-tiba, “Plaaaak!!!” – pipi kiriku ditamparnya sambil berucap, “Anak susah diatur!”  Antara sakit, malu dan terkejut, aku lantas terdiam dan duduk saja menatap ke depan.

“Bang, mampir ke rumah dulu ya, antar anak saya,”  kudengar suara Bapak.  Aku diam saja.  Sampai di rumah aku langsung masuk ke kamar.  Ibu sudah biasa melihatku pulang kuliah malam langsung masuk kamar dan tahu benar kalau lapar pasti aku bisa cari makanan sendiri di dapur.  Jadi aman, tanpa pertanyaan atau basa-basi lain ke Ibu yang waktu itu juga ada di kamarnya  sendiri.  Aku yakin Ibu mendengarku masuk ke rumah, tapi sebagaimana biasa ya biasa dibiarkan saja.

Di kamar, aku duduk berpikir sambil melihat sekeliling ruangan berukuran tiga kali dua setengah meter itu. Bapak sangat keras terhadap kami anggota keluarganya di rumah, tetapi bagai malaikat buat orang lain.  Ibu membantahnya dengan diam atau memasangkan badannya sendiri supaya kekerasan fisik tidak mengenai anaknya.  Bapak termasuk orang yang disukai lingkungan.  Sulit bagi orang yang belum pernah masuk ke keluarga kami untuk percaya kekerasan yang Bapak lakukan.  Tak tahan selalu merasa tertekan, aku berpikir untuk pergi saja meninggalkan rumah, mencari penghidupan baru.

Aku buka celenganku, ditambah masih ada uang gajiku bulan itu tujuhpuluhribu, ijasah es-em-a, satu set baju ganti, beberapa surat keterangan, masuk ke tas yang biasa kupakai ke kantor dan kuliah. Walaupun  murah tas itu agak besar dan lapisan plastiknya cukup kuat melindungi isinya. Aku akan ke stasiun Gambir sepulang dari kantor besoknya, sedapat-dapatnya tiket kereta api ke kota mana, aku akan menanggalkan kehidupan lamaku dan memulai hidupku di situ.  Tekadku sudah bulat, sepanjang halal apapun akan kujalani, pun sebagai penjaga toko atau pramuwisma.

Keesokan paginya, seperti biasa aku berangkat ke kantor setelah Bapak pergi bekerja.  Sarapan seperti biasa, aku memandang Ibuku yang kupikir waktu itu untuk entah sampai kapan lagi bisa memandangnya.  Niatku bulat untuk meninggalkan rumah,  salah satu tempat yang telah membesarkan aku sampai usiaku mencapai duapuluh satu tahun.  ‘Selamat tinggal, Bu...’, batinku mungkin ada benarnya, bahwa kehadiranku sebagai anak sesungguhnya tidak dikehendakiBapak.

Jam pulang kantor, Rudi, salah seorang teman yang dalam proses pendekatan menjemputku, mengajak seorang temannya, Bona.  Selintas aku menceritakan tentang masalahku di rumah dan niatku untuk pergi saja.  Rudi mengarahkan mobilnya ke Gambir, aku duduk di bangku depan dan Bona duduk di bangku belakangku.  Sepanjang jalan Rudi berusaha untuk menengahi dan mencegahku untuk pergi, “Kemana saja kamu mau pergi, aku antar, tetapi jangan keluar kota seperti ini, pikir keselamatanmu sendiri”, begitu katanya berulang-ulang.  Aku tidak mendebatnya, duduk saja memeluk tasku sambil berkata datar, “Antar saja ke Gambir.”

Sesampai di depan stasiun kereta api itu, Rudi bukannya mengarahkan mobilnya untuk masuk, tetapi lurus saja. Waktu itu hujan mulai agak deras.  Aku berkeras untuk turun dan berusaha untuk membuka pintu mobil yang sedang berjalan.  Rudi berusaha menahanku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menguasai setir mobil.  Tangan kanan Bona memegangku dari belakang sambil tangan kirinya menahan kunci pintu.  Aku setengah histeris dan menjadi agak tenang ketika Rudi bilang akan meminggirkan mobilnya dulu.

Rudi  mengarahkan mobilnya ke jalan dekat Monumen Nasional (Monas). Hujan makin deras.  Tanpa menunggunya lagi, begitu mobil berhenti aku langsung membuka pintu dan berjalan kembali ke arah stasiun.  Rudi mengikutiku dari belakang sambil berteriak-teriak yang tak kudengarkan lagi, samar-samar antara suara hujan dan isi otak jumpalitan.  Di otakku hanya ada satu kata berulang-ulang, ‘pergi’.  Waktu itu stasiun Gambir belum dibangun seperti sekarang, sehingga dari arah lapangan Monas dapat menyusuri relnya menuju ke stasiun.  Dalam keadaan hujan dan otak terganggu, aku berjalan setengah berlari di sepanjang rel itu tanpa menyadari ada kereta api dari arah depanku.  Tiba-tiba aku tersadar sudah berada di kubangan air kotor di pelukan Rudi.  Rupanya Rudi menarikku dan menjerembabkan tubuh kami ke pinggiran rel yang ada kubangan air coklat itu.  Seperti dikeplak lagi kepalaku, dan aku ikut saja ketika Rudi memegang tanganku setengah menyeret kembali ke mobilnya di tempat semula dia parkir.

Entah apa yang dirundingkan di antara Rudi dan Bona, sesudahnya dengan badan kotor basah kuyup aku dibawa ke salah satu rumah orang tua Rudi yang tidak ditempati di daerah Depok.  Sebelumnya Rudi menelepon salah satu temannya lagi, Jauhar, untuk menemani kami.  Jadilah kami berempat ke rumah Depok itu tanpa sepatah katapun keluar dari mulutku.   Sekali mobil berhenti di deretan warung-warung membeli nasi bungkus untuk makan kami berempat.  Bertiga mereka membiarkanku sendiritetapi tetap mengawasi tanpa mengusik. Mereka berjaga bergantian, khawatir aku bunuh diri.  Akhir pekan itu aku dipaksa berpikir waras oleh mereka bertiga.  Mungkin juga karena pendekatan mereka yang pas, aku luluh dan memutuskan untuk pulang ke rumah.  Lepas dari perasaan pribadi mereka kepadaku, aku berutang kebaikan hati yang tidak mungkin terbayarkan kembali olehku. Aku hanya bisa berdoa, yang terbaiklah bagi mereka.

Minggu sore mereka membelikan aku pakaian untuk ke kantor hari Seninnya.  Perjanjiannya aku bekerja seperti biasa, sore harinya Rudi dan Jauhar menjemputku kemudian ke rumah Nani, salah seorang sahabat masa kecilku di Radio Dalam.  Nani beserta calon suaminya ikut menemani aku pulang untuk membantu menjelaskan dan mengatasi ketakutanku.  Sayangnya sesampai di rumah kedua orangtuaku sedang pergi.  Setelah meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja, mereka pulang.  Hari-hari berikutnya aku melakukan kegiatan seperti tidak terjadi apa-apa, pun bapak dan ibuku tidak menyinggung-nyinggung tentang kepergianku tanpa pamit sebelumnya.  Aku sudah terbiasa dengan suasana dingin seperti itu, jadi rasanya biasa saja ketika aku didiamkan seperti itu.

Minggu berikutnya aku mengunjungi salah seorang sahabat  kecilku yang lain, Nina.  Almarhum bapaknya seorang mantan marinir yang tidak banyak bicara tetapi berwibawa dan mengayomi.   Salah satu tempat kerjaku kemudian adalah hasil rekomendasi beliau, sehingga ada masa ketika beliau sekaligus juga menjadi bapakku di tempat kerja.  Sangat berbeda ketika aku berdekatan dengan bapakku sendiri.  Jadi ketika beliau meninggal, aku kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan rasa kehilanganku.  Ibunya sangat aktif dan  tidak sependiam ibuku, tetapi aku senang berada di tengah keluarga itu karena kehangatannya yang tidak kuperoleh di rumah.  Di tengah obrolan ringan di ruang makan, ibunya perlahan bertanya, “Kamu sebenarnya minggu lalu kemana, Nak?” Aku menjawab apa adanya.

Lalu dengan penuh keibuan beliau berkata, “Lain kali kalau ada apa-apa jangan kemana-mana lagi ya, pulang ke sini.  Kamu itu sudah kuanggap anakku sendiri.  Kamu tahu, ibumu ke sini.  Sembunyi-sembunyi dia mencarimu, karena bapakmu melarangnya.  Dia datangi rumah-rumah temanmu yang dia tahu.  Ingat ya, jangan kemana-mana.  Di sini rumahmu juga.”

Pulang ke rumah aku memandangi wajah ibuku diam-diam.  Sungguh wajah tegar yang tak akan terlupakan.  Dalam kepatuhan, kekhawatiran dan kesedihannya disembunyikan dalam diam serta berserah penuh kepada Sang Penyelenggara Kehidupan.  Sejak itu aku bertekad, apa pun yang terjadi aku tidak akan pernah minggat lagi.  Aku tidak ingin menambah derita, kepedihan hatinya.

Tigapuluh tahun berlalu.  Ibu kini sudah di alam lain, tetapi aku tetap merasakan kehadirannya mendampingi aku mewujudkan arti hidupku.  Pun tidak akan pernah melarikan diri dari masalah apa saja.  Melalui keyakinanku, jarak kami hanya satu helaan napas saja.

kampung gunung, 22 desember 2013

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun