Aku dan Petra berteman akrab, saking akrabnya banyak teman yang mengira bahwa kami adalah sepasang kekasih. Aku senang menulis tetapi Petra sangat jago menulis. Tulisannya bagus, teman-teman yang lainpun mengakui kemampuannya mengolah kata. Kami ikut kegiatan kemahasiswaan yang sama, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Petra sering membantu mengedit beritaku, menemaniku liputan dan menyemangatiku bahwa aku bisa menjadi seorang jurnalis. “Aku bakal bantu kamu mewujudkan impian kamu, aku bakal terus di sini selama kamu ada,” katanya padaku. Yah, satu alasannya bergabung di LPM ternyata aku.
Sudah lama aku tahu bahwa Petra menginginkan aku lebih dari seorang sahabat. Hanya saja, aku tak pernah menggubrisnya. Aku selalu menutup mata terhadap perasaannya. Lagipula Aku mengagumi seseorang dan Petra tahu siapa orang itu. Dia tak pernah marah apalagi memaksakan perasaannya. Tulisannya di blog dan akun facebooklah yang kadang ku baca yang menceritakan bagaimana perasaannya padaku. Semua tulisannya adalah tentang aku, dia selalu menulis untuk aku.
Suatu hari aku mulai menjaga jarak dari Petra. Aku khawatir kedekatanku dengan Petra disalahartikan oleh seseorang yang aku kagumi dan memperoleh cibiran dari teman-temanku yang lain. Tanpa banyak kata, Petra mengerti atas sikap yang ku ambil. Tetapi, tindakanku berbuah panjang. Petra balas menjauh dariku, dia menutup segala akses komunikasi denganku. SMS yang ku kirim sama sekali tak dibalasnya, setiap kali bertemu, Petra selalu bermuka masam dan tak lagi menyapaku. Ia pun vakum dari keanggotaan LPM. Dia seperti tak mau lagi mengenalku.
Bingung, itulah yang ku rasakan. Perasaan bersalah membuatku tersudut dan tak mampu membuka mulut sedikitpun dihadapannya. Aku kehilangan Petra, bahkan jauh lebih menyakitkan dari apa yang bisa ku bayangkan saat dia masih bersamaku. Lewat catatan yang Petra tulis di akun facebooknya, aku tahu alasan dia menjauh dariku. Yah, aku mengerti. Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk bertahan bersama orang yang kita sayangi yang pikirannya tertuju bukan pada kita melainkan pada orang lain.
Rasa sesal ku rasakan. Dalam kesendirian, aku baru sadar bahwa aku membutuhkannya lebih dari yang ku perkirakan. Setiap kali kami berada di jam kuliah yang sama, terkadang mataku tanpa sengaja menatap ke arahnya. Sebuah perasaan harus melihat meski hanya sepintas.
Aku memang egois dan terlalu malu untuk mengawali lagi semuanya. Aku hanya bisa diam di hadapannya dan menulis deretan kata sesal dan rindu saat di belakangnya. Yah, lagi-lagi menulis, satu dari sekian banyak kesamaan antara kami yang menjadi tempatku bersikap jujur atas hati dan padanya.
“Aku ingin membagi tulisan ini denganmu. Aku ingin kita menulis kisah kita bersama dan berbagi mimpi denganmu..”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H