Setelah sekian lama "disibukkan" dengan kegiatan mengajar dalam jaringan yang membuat saya "hibernasi" dalam menulis di Kompasiana, akhirnya saya dapat kembali bergabung dengan penulis-penulis lain di Kompasiana. Tidak lupa saya mengucapkan maaf kepada teman-teman yang telah meng-like, me-rating ataupun berkomentar di artikel saya, namun belum atau tidak saya jawab, karena bukan bermaksud untuk tidak menghormati anda, namun karena memang saya sudah terlalu lama absen di Kompasiana. Tidak terasa pandemi Covid-19 sudah melewati "hari jadi" pertamanya, dan kita semua masih berjuang untuk keluar dari masa yang terasa sulit ini, namun janganlah kodisi ini membuat produktifitas para penulis menurun, karena tulisan-tulisan yang bermutu akan bermanfaat bagi pembaca.
Pada tulisan ini saya ingin membahas tentang salah satu program Pemerintah dalam memberikan bantuan kepada masyarakat selama pandemi Covid-19, yaitu Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD), yang dimana sebenarnya terdapat beberapa hal yang menjadi bahaya laten di dalamnya, namun saya hanya akan membatasi bahaya laten itu pada satu hal saja, yaitu bagaimana terjadi hal yang "melanggar hukum" yang kemungkinan besar disebabkan oleh ketidaktahuan pelaksananya, yaitu pihak Pemerintah Desa yang membagikan BLT DD tersebut. Apakah bentuk "pelanggaran" tersebut? Pelanggaran tersebut sebenarnya hal yang dianggap remeh, namun sebenarnya salah satu bentuk "pelecehan" terhadap uang yang merupakan salah satu simbol negara, dan tentu saja yang namanya simbol negara adalah perwujudan dari kehormatan bangsa. Hal "receh dan remeh" yang sebenarnya sebuah bahaya laten tersebut adalah men-staplus uang atau dalam Bahasa Jawa "njeglok duit" yang dilakukan oleh pihak pembagi BLT DD.
Apabila memang men-staplus uang adalah sebuah pelanggaran hukum, maka apa dasarnya? Dasarnya adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mulai berlaku sejak 28 Juni 2011, terutama pada Pasal 25 Ayat (1 ) yang berbunyi "Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/ atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan Rupiah sebagai simbol negara", dan untuk sanksinya disebutkan pada Pasal 35 Ayat (1) yang berbunyi"Â Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/ atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah)".Â
Sehingga hal yang sebelumnya dianggap prevalen ini sebenarnya adalah sebuah bahaya laten yang menjadi tren, dan setelah saya cek di masyarakat ternyata banyak yang belum tahu apabila ini adalah sebuah pelanggaran hukum. Tujuan saya menulis artikel ini adalah untuk memberitahukan kepada pihak yang masih sering men-staplus uang untuk menghentikan kebiasaan tersebut sebelum hal ini "meledak" dan banyak pihak yang terjerat "kasus hukum" hanya karena hal yang dianggap "receh". Seberapa toh harga amplop? Untuk ukuran yang bisa membungkus uang Rp. 300.000,- cukup digunakan amplop  yang kalau tidak salah per 100 lembar harganya tidak sampai Rp. 25.000,-. Bukan hanya dalam pembagian BLT DD, termasuk juga dalam pembagian uang lain, seperti contoh Tunjangan Hari Raya, juga harus dihentikan kebiasaan men-staplus uang. Mata uang adalah simbol negara, kehormatan negara, dan juga perwujudan kekuatan ekonomi bangsa, dimana setiap nilai tukar mata uang Rupiah turun juga akan berpengaruh terhadap perekonomian bangsa baik secara makro maupun mikro.Â
Seringkali terjadi paradoks, dimana ketika bangsa kita disinggung oleh bangsa lain kita meradang, namun tanpa disadari ternyata banyak juga bangsa kita sendiri yang entah sengaja atau tidak malah "melecehkan" bangsa kita sendiri. Demikian artikel dari saya, semoga bermanfaat. Jangan lupa untuk menerapkan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19, dan semoga pandemi ini segera berakhir dan kita semua dapat menjalani hidup dengan normal kembali. Salam Sehat, dan salam literasi, sukses terus untuk anda yang membaca artikel saya ini, terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H