Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Antara

13 Juli 2016   10:24 Diperbarui: 13 Juli 2016   10:29 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://cheprakoso.tumblr.com

—Untuk Dafi,

HUJAN di akhir bulan Desember itu belum juga reda. Kita duduk di beranda rumah. Sesekali tempias membasuh wajah. Kamu masih di pangkuanku. Meskipun, kata ibumu, kantuk sudah terlihat di wajahmu. Waktunya tidur, katanya. Tapi, di pangkuanku, saat kamu berdiri di pahaku, kamu masih berjingkrak-jingkrak penuh semangat. Wajahmu sumringah saat kuceritakan sesuatu di telingamu. Meski matamu agak sayu.

Apakah itu caramu melawan kantuk dan menikmati hujan, Nak? Aku tidak tahu. Ada baiknya, di tengah berjingkrak-jingkak, aku lanjut ceritakan sesuatu lagi kepadamu.

Namanya Eduard Douwes Dekker. Ia lahir di tanggal yang lebih cepat 5 dan 4 hari dari aku dan Om-mu yang bontot (tentu dengan tahun yang berbeda), 2 Maret 1820, di Amsterdam, Belanda. Ia anak seorang nakhoda kapal dagang. Kemudian di usianya yang ke-18 bersama ayahnya ia berlayar ke Batavia dengan kapal ‘Dorothea’ dan tiba pada tanggal 4 Januari 1839. Itulah titik mula ketika sejarah mencatat namanya yang abadi dalam sanubari rakyat Indonesia; Multatuli, aku yang banyak menderita…

Mulanya ia seorang klerk (juru tulis) Algemene Rekenkamer. Dan perjalanan karier makin baik, dari seorang Kontrolier (pengawas), Asisten Residen, hingga menjadi Residen. Ia seorang pegawai negeri, Nak. Pekerjaan yang begitu dicita-citakan oleh leluhur kita. Saranku, jika kelak kau ditanyakan oleh gurumu Apa cita-citamu? Jawablah; aku tidak ingin menjadi pegawai negeri, kecuali atasanku seperti Multatuli.

Itu yang kuperbuat sewaktu sekolah dulu, Nak. Memang, seketika aku mengucapkannya, seisi ruang kelas terbengong, sebagian ada yang tertawa terbahak-bahak; mungkin heran mendengar perkataanku, mungkin bingung dan tak tahu siapa Multatuli. Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, saat itu aku begitu mengagumi Multatuli. Yang kata-katanya begitu kuhafal di luar kepala, hingga kini; “Tugas manusia adalah menjadi manusia!” Aku membacanya dari sebuah buku yang kutemukan di perpustakaan sekolah. Buku itu terbitan Balai Pustaka. Pengarang dan judulnya aku tak lagi ingat. Kalau ingatanku bisa dipercaya, saat itu aku kelas 1 SMP. Baru kemudian, di saat SMA aku membaca tulisan Multatuli, Max Havelaar. Kuharap, kelak, kamu juga membaca buku itu, Nak.

Mungkin kamu bertanya; (1) mengapa kau ceritakan perihal Multatuli kepadaku? (2) Apalagi di saat semua orang sedang sibuk  liburan dan berbagai kegiatan?

Sebelum aku menjawab (dan semoga saja aku bisa menjawabnya), akan kuceritakan terlebih dulu perihal buku Max Havelaar karya Multatuli ini.

Bermula dari kepekaannya terhadap realitas ‘yang nampak’ di matanya ketika ia menjadi pegawai negeri di Hindia Belanda, tepatnya berjarak kurang dari 200 kilometer dari tempatmu tinggal sekarang, Nak, Lebak, Banten. Realitas ‘yang nampak’ itu adalah tumpahnya keringat (seringakali juga darah) ke tanah yang kemudian menyuburkan tanaman di atasnya, dengan ketekunan dan susah-payah merawatnya, tetapi hasil dari tanaman itu sebagian besar diambil oleh orang yang sama sekali tak menyumbangkan keringat (apalagi darah) untuk menyuburkan tanah tersebut. Orang itu berkulit putih, sebangsa Multatuli, tapi tak jarang juga berkulit cokelat, sebangsa dengan manusia yang menumpahkan keringat itu.

Multatuli tergerak untuk membela realitas itu. Bahwa yang harus menikmati hasil dari tanah itu adalah orang yang menumpahkan keringatnya. Selain itu tidak berhak. Karena, ia percaya, siapapun manusia yang tercerahkan oleh ilmu pengetahuan Eropa pasti menangis melihat realitas itu.

Tapi apa daya, usahanya kalah. Malah jabatannya dicopot. Ia dipindah-tugaskan ke suatu daerah di Jawa Tengah. Ia menolak. Bukan karena penurunan jabatan, atau gaji yang dipotong, tetapi karena ia ingin tetap membela realitas yang nampak dihadapannya itu. Ia ingin memastikan semua orang melihat itu. Tapi, sekali lagi, ia kalah. Meski, kemudian kita tahu, ia takkan sia-sia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun