Untuk Dua keponakanku; Dafi Putra Prakoso dan Dzakyya Talita Prakoso—Jangan lekas dewasa, Nak!
ENAM TAHUN SEBELUM 1 Februari 1942—Sjahrir dan Hatta baru saja tiba di Banda Neira dari pembuangan di Boven Digul, Papua. Mereka tinggal di sebuah rumah bekas pegawai perkebunan. Rumah itu luas dengan ruang dalam berukuran 50 meter persegi, dan beranda 40 meter panjangnya. Kebun terbentang di belakang rumah itu. Angin teluk kerap membanjur rumah itu sepanjang hari.
Sejak hari pertama kedatangannya sebagai orang buangan, mereka disambut oleh warga dan anak-anak yang riang dan gembira. Mereka selalu mengunjungi rumah warga dan teman. Bila tidak sedang membaca atau menulis surat, Sjahrir akan duduk di beranda rumah itu menikmati angin sore yang membasuh mukanya.
Bila ada anak-anak yang kebetulan lewat di depan rumahnya, Sjahrir akan menegur: “Hendak bermain? Hendak belajar?”
Sjahrir selalu merasa senang dan bahagia selama di Banda Neira.
“Di sini benar-benar firdaus,” tulis Sjahrir tahun 1936.
Pada 12 Oktober 1936, kepada istrinya, Maria, yang tinggal di Belanda, Sjahrir menulis: “Pukul setengah lima pagi, saya sudah bangun dan siap, dan pukul setengah enam, kami sudah berada di laut. Kami mengatur sendiri layar dan kemudi. Selama tiga jam, perahu melaju, karena angin yang membantu. Melintasi kebun laut, menyaksikan matahari terbit yang gemilang. Kemudian mendarat kembali. Di pantai kami menghabiskan sisa hari dan makan.”
Ia seolah merasakan hidup yang tidak dipatok oleh ‘tujuan’ dan dikejar-kejar oleh ‘manfaat’ dengan segala yang dipikirkan dan dilakukannya.
Syahdan, sejumlah anak-anak Banda Neira datang ke rumahnya untuk belajar, bermain, dan bergurau, Mereka berkerumun di beranda rumah. Hingga satu kejadian kecil terjadi saat ‘bermain sambil belajar’ itu berlangsung: salah seorang anak menjatuhkan vas kembang, pecah, dan air vas itu mengenai buku Hatta—orang yang menganggap buku lebih penting ketimbang tubuh perempuan, dan selalu memperlakukannya rapi dan telaten. Hatta marah.
Akhirnya Sjahrir memutuskan pindah ke sebuah pavilium kecil yang letaknya tidak jauh dari rumah itu. Agar ia bebas bermain dan belajar bersama anak-anak itu. Pavilium itu milik saudagar keturunan Arab yang dulu kaya, bernama Baadila. Ia menitipkan anak-anaknya untuk dididik Sjahrir—dua perempuan dan dua laki-laki, bernama: Lily dan Mirna, Does dan Des—tiga dari mereka yang kelak diangkat menjadi anaknya. Sjahrir menjadi bagian keluarga itu.