Nak, ia seorang yang luhur hatinya. Manusia Eropa yang tercerahkan melihat betapa gelapnya masyarakat Hindia Belanda. Nah, bukunya, Max Havelaar, adalah usahanya untuk bertanggung jawab atas ketercerahannya, sekaligus juga jawaban atas kegelapan yang menyelimuti kita (kala itu, mungkin hingga kini).
Proses penulisan buku itu begitu panjang dan berliku; secara harfiah maupun hakekat. Buku itu ditulis di sebuah kamar losmen kecil di Brussel, Belgia, selama 3 minggu dari 17 September sampai 3 November 1859, di akhir tahun yang dingin, tentunya. Aku membayangkan, selain karena membuncah perasaannya yang terbuang dari tanah Hindia karena membela realitas itu, Multatuli juga menulis untuk melawan hawa-dingin yang begitu mencekik. Patut dicatat: dalam keadaan yang melarat-cum-pengangguran, dan harus meninggalkan istri yang sedang mengandung di Hindia Belanda. Juga baru 10 tahun kemudian, sejak pertama kali terbit 1860, si pengarang menerima jerih-payahnya sebagai penulis. Sebab, ia tertipu oleh kawannya yang mengambil honorium dari bukunya.
Nak, sebagai gambaranmu, aku ceritakan sedikit isi dan inti alur cerita bukuMax Havelaar.
Buku Max Havelaar diawali dengan kalimat terkenal: “Saya ini makelar kopi dan tinggal di Lauriersgrachtno.37.” Tokoh Droogstoppel tak lain daripada pelaku antagonis Havelaar, orang idealis yang berbudi luhur, yang berjiwa penyair, sahid bagi prinsip-prinsipnya. Droogstoppel sebaliknya berkepala dingin, penuh perhitungan, seorang mata-duitan, munafik, keras kepala dan kebal terhadap puisi. Dalam ke-empat bab pertama hanya Droogstoppel yang berbicara dan yang memaparkan ide-idenya. Dalam bab yang kedua terjadi pertemuan dengan Syaalman, seorang bekas teman sekolah. Droogstoppel menjulukinya ‘Syaalman’ karena ia tidak mempunyai sebuah mantel, hanya selembar syal dililitkan pada lehernya. Syaalman tak lain daripada Max Havelaar, bekas asisten residen itu. Keesokan harinya Syaalman menyampaikan seberkas naskah, uraian-uraian mengenai aneka macam tema. Daftar tema itu terdapat dalam bab yang ke-empat. Lalu menyusullah Max Havelaar ‘yang sebetulnya’. Mengapa kukatakan ‘yang sebetulnya’? Karena naskah-naskah diberikan Syaalman itu adalah pokok dari alur cerita Max Havelaar. Bab enam sampai sembilan membaca pembaca ke Pulau Jawa (abad ke-19) yang terkenal itu. Pidato kepada kepala-kepala Lebak terdapat dalam bab yang ke-delapan. Bab sepuluh dan sebelas terjadi lagi di Negeri Belanda. Kisah tentang Saijah dan Adinda terdapat dalam bab yang ke duabelas. Kemudian menyusullah kelanjutan perkara Lebak yang terakhir, dengan pidato tajam yang dialamatkan kepada Sri Bginda sendiri. Yang berbicara bukan Droogstoppel, bukan Max Havelaar, tetap Multatuli sendiri. Akhir yang begitu heroik. Entah mengapa, pola membaca Max Havelaar aku teringat pola buku Tetralogi Buru karya Pram. Jika boleh menyandingkan, bab satu sampai ke-empat Max Havelaar serupa dengan tiga buku awal Tetralogi Buru. Bab enam sampai ke-12, serupa dengan buku terakhir Tetralogi Buru, yang berjudul Rumah Kaca. Tentu itu hanya penyandingan yang kasar. Perlu tinjauan lebih jauh dan mendalam.
Tetapi, kurasa, membaca bab terakhir Max Havelaar, serupa membaca ujung buku Bumi Manusia; “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Kedua-duanya menyuarakan sebuah kepalan tangan. Meskipun kalah, meskipun hanya melalui kata-kata, meskipun diam-diam…
Nak, bagiku, selain nilai humanisme dan anti-penindasan yang diusung oleh Multatuli, yang begitu kentara di setiap lembarnya, juga satire dan lelucon yang bernas dan menyulut keinginan untuk melawan. Buku Max Havelaar menunjukkan sebuah bentuk sastra yang menarik (patut diingat tahun ketika buku itu ditulis: 1859). Ia seolah berdialog dengan (bentuk karya sastra) pada zamannya. Ketika (bentuk karya sastra) zamannya lebih banyak meluangkan waktu memuja-muja kegemilangan masa lalu dengan kata-kata yang aduhai, dan lanskap-paradigama romantisme, Max Havelaar melangkah lebih jauh. Meskipun kukira, tetap ada taste romantisme dalam buku Max Havelaar.
Kemudian sebagaimana sejarah juga mencatat, buku Max Havelaar berhasil membuat kaki-kaki penjajah bergetar, dan sekaligus juga membuka mata-hati dan keberanian kaum terjajah untuk bergerak berbareng.
Kedua, Nak, banyak orang keliru memahami waktu. Dikiranya waktu bisa dipenggal-penggal menjadi awal (tahun) dan akhir (tahun). Seperti sebuah siklus hidup. Bukankah di saat kelahiran ataupun kematian mahkluk, misalnya, waktu tetap saja bergulir bersikap acuh? Percayalah, Nak, waktu akan selalu acuh-terus acuh-dan akan selamanya acuh—terhadap lahir-awal atau mati-akhir. Sebab, lahir-awal-akhir-mati, adalah sebuah proses yang terjadi di dalam waktu. Waktu akan terus bergulir dengan atau tanpa semua proses itu. Jadi, menganggap penggantian akhir (tahun) menjadi awal (tahun)—duskelahiran dan kematian—sebuah hal yang istimewa dan dengan begitu perlu sebuah perayaan, bukankah sebuah hal yang berlebihan dan mengada-ada? Nak, kamu akan tahu dari guru mengajimu kelak, bahwa sesuatu hal yang berlebihan cenderung menjadi tidak baik?
Yang lebih penting, Nak, adalah bagaimana kita mengisi dan menikmati proses di ‘antara’ awal (tahun) dan akhir (tahun). Dan dengan begitu kita terus mau belajar dalam proses ‘antara’ itu. Nah, atas dasar itulah aku ceritakan perihal di atas di penghujung tahun ini.