Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#Ngabookburit: Menyapa Masa Lalu, Mencari Ibu, Mencintai Che...

24 Juni 2016   14:06 Diperbarui: 24 Juni 2016   14:12 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tyo Prakoso

SELAIN membaca dan bermain bola, tentu saja, saya juga gemar membaca-ulang sebuah buku beberapa kali; sebab—seperti yang kerap saya kemukakan—jika membaca adalah perjalanan-tanpa-jalan-pulang, maka membaca-ulang sebuah buku yang pernah kita baca sebelumnya adalah sebuah perjalanan atas pengharapan cerita yang lain: seperti seorang flaneur yang berkelana di tempat yang sama pada waktu yang berbeda; mungkin ada yang yang luput dan terlewatkan saat perjalanan yang pertama; mungkin saja yang luput dan terlewatkan itu sebuah kenangan atas sesuatu yang telah pergi di perjalanan yang lalu dan tiba-tiba datang di perjalanan kini. Saya harus katakan bahwa membaca-ulang, bagi saya, adalah permainan antara ingatan dan kenangan yang kerap melingkupi perjalanan literer saya: antara yang-di dalam buku/teks dan yang-di luar buku/teks. Kemudian, kau tahu, bagi saya, yang pokok dan utama ketika membaca-ulang bukanlah menemukan dan mencari ide-gagasan-fakta-cerita yang-baru laiknya ketika membaca sebuah buku yang pertama kali (jika ada hal yang demikian, itulah berkah lain dari membaca-ulang), tetapi mengingat dan mengenang ide-gagasan-fakta-cerita yang luput dan terlewatkan itu; di titik inilah, saya paham ungkapan bahwa tidak ada yang benar-benar baru di kolong langit ini, selama kenangan dan ingatan masih jadi teman baik manusia…

Dengan pemahaman yang demikianlah saya membaca-ulang novel Mencintai Che (judul asli Loving Che,2004) karya Ana Menendez. Mencintai Cheadalah novel pertama Ana. Ia seorang jurnalis dan penulis kelahiran California, Amerika Serikat pada tahun 1970. Kedua orang tuanya berasal dari Kuba. Enam tahun sebelum kelahirannya, 1964, kedua orang tuanya eksodus ke Amerika, akibat susahnya keadaan Kuba di awal-awal Revolusi yang dipimpin Fidel dan Che saat menumbangkan diktator Batista. Dalam lanskap seperti itulah Ana menulis Mencintai Che.

Mencintai Chebercerita tentang seorang gadis yang tumbuh-besar di rumah kakeknya. Ibunya meninggalkannya sejak ia balita. Selama proses tumbuh besar tersebut, pertanyaan mana ibu, bagaimana sosok ibu,atau mengapa orang lain memiliki ibu sementara aku tidak, kek?dijawab sang kakek dengan senyuman dan pelukan, sejurus kemudian kakek kembali duduk di kursi bacanya, lalu membacakan buku untuk gadis tersebut. Hingga gadis dewasa, pertanyaan itu membuncah. Di suatu hari, saat berdebat tentang karya sastra Rusia dan Amerika, dialog lirih itu terjadi. Saya akan menarasikan dialog itu di bawah ini.

“Kau tidak berhak marah padaku.” Kata Kakek, mengetahui pembicaraan berubah arah ke persoalan yang itu-itu-lagi.

“Lalu pada siapa?” sahut gadis itu.

Tak ada jawaban.

“Aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin kakek bisa berpisah dengan ibu selama bertahun-tahun tanpa mengetahuinya. Aku tidak mengerti. Bagaimana kakek tidak punya satu pun foto, surat, atau dokumen lain. Sejauh ini aku dibesarkan dalam kebohongan—bisa saja kakek menculikku, atau bahkan mungkin kau bukan kakekku.” Keluh si gadis kepada kakeknya.

Si kakek hanya terdiam. Ia menghisap cerutunya. Kini kakek tak mungkin lagi tersenyum atau memeluk cucunya itu.

Akhirnya kakek itu bercerita. Di titik inilah, saya memahami mengapa Ana memilih novelnya ditulis dengan sudut pandang “aku”. Dengan sudut pandangan “aku” membuat Cerita begitu mengalir dan tak lekas aus. Dan Ana berhasil membawa saya ke kedalaman si gadis yang bingung dan berusaha mencari ibunya; kau tahu, ibu adalah titik pijak keberadaan kita di sejarah kehidupan yang kita jalani. (Mencari) Ibu menjadi metafor yang puitik-apik perihal menyapa masa lalu. Sampai di sini saya harus katakan, bahwa Mencintai Cheadalah tentang sejarah yang membaur antara kenangan dan ingatan; dan kenangan dan ingatan itulah yang menjadi pengikat Mencintai Che.Kau tahu, kenangan dan ingatan itu begitu muram, suram juga lirih.

Si kakek kembali dari ruang tidurnya setelah meninggalkan cucunya merenung dengan cerita yang baru saja dikisahkannya itu. Ia membawa beberapa lembar foto yang telah kuning dan selembar kertas terlipat. Foto dan kertas itu disodorkan ke cucunya. Gadis itu menggapai. Ia pandang foto itu. Bukan potret seorang perempuan. Ia buka kertas terlipat itu. Ada selarik puisi. Kertas itu terlampir di saku bajumu ketika bayi,kata sang kakek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun