Mungkin betul, sejarah kerap hanya mencatat ia yang beramai-ramai bersuara keras dan lantang menyerukan kebenaran, sembari menepuk dada dan meninju langit. Diam-diam kita berharap menjadi heroik. Heroik sejak dalampikiran. Karena pada dasarnya—seperti Wikana-cs—menjadi heroik adalah upaya menciptakan sejarah; untuk kemudian dicatat dan dibaca oleh generasi selanjutnya. Kita berlomba menasbihkan diri sebagai hero. Saya rasa itu sah-sahsaja. Sebab sudah menjadi naluri manusia untuk mengingat dan mengenang; bukankah upaya menciptakan sejarah adalah usaha untuk tetap diingat dan dikenang?
Maka menjadi pecundang adalah kutukan dan nasib yang paling sial dan dipanggul masing-masing; sebab—seperti larik puisi Chairil, bahwa “nasib adalah kesunyian masing-masing”. Kemungkinan untuk dicatat sejarah tipis. Ia abadi menjadi generasi yang hanya membaca sejarah—tanpa pernah menciptakan sejarah, dan dicatat sejarah untuk kemudian dibaca generasi selanjutnya. Mungkin memang begitulah balada seorang pencundang.
Meragukan kebenaran, mencintai kesepian, bersuara perlahan dan terkadang lirih, hingga meyakini bahwa perjuangan adalah upaya melawan kedhaifan diri-sendiri ialah sehimpun kepecundangan yang mesti-kudu-harus ditertawakan; sebab, sekali lagi, sejarah terlalu nista untuk mencatat hal seperti itu.
Sampai di sini saya ingin mengakhiri dengan sebuah tanya; adakah pahlawan bermuka buruk rupa?
Tentu maksud saya, “muka” bukanlah dilihat sekedar organ tubuh yang menempel. Tetapi, seperti larik puisi Chairil yang lain; “Ini muka penuh luka|| siapa punya?” bahwa “muka” adalah representasi sebuah identitas—meminjam metafora F Budi Hardiman “sesiung bawang yang berlapis-lapis—manusia; pada “muka” berbagai pikiran-perasaan-pengalaman-yang-mampir-di-tubuh kita tercandra, di titik inilah mengapa identitas manusia berlapis-lapis; dan “muka” tak pernah kita bisa definisikan secara an sich tanpa mendudukan dengan konteks sosial-sejarah yang melingkupinya. “Muka” adalah Phainomenon—dalam istilah Heideger—yang di dalamnya melingkup realitas dan nilai-nilai yang tercandra. Akhirnya, usaha untuk memahami ‘baik-buruk’, ‘bagus-jelek’ dan sebagainya “muka” adalah cara menyingkap pengalaman di baliknya yang berkelindan dengan kontekssosial-historis. Pada kondisi seperti itulah pertanyaan adakah pahlawan bermuka buruk rupa menjadi perlu. Sebab, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggal belang, dan manusia mampus meningalkan ingatan dan kenangan... dan sialnya, ingatan dan kenangan kita seringkali menjadi sumir dan terdistorsi. Ingatan dan kenangan adalah bahaya,sebab mengingat dan mengenang artinya yang-politis.
Tapi, yang jelas, saya lebih senang “muka” Soekarno yang diperankan AryoBayu ketimbang Anjasmara… kalau anda? ■ @cheprakoso
Jatikramat, Mei 2016
*TyoPrakoso, prosais, mahasiswa sejarah UNJ, bergiat di komunitas literasi @gerakanaksara Rawamangun. Buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016).
**Tulisan ini pertama kali ditayangkan DISINI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H