Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rivai Apin dan Permufakatan Jahat pada Sejarah (Sastra) Indonesia

24 Mei 2016   11:02 Diperbarui: 20 Juni 2017   11:50 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JIKA perjuangan manusia atas kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa—seperti kata Milan Kundera—maka mempelajari sejarah artinya berjuang. Karena tulang-sumsum sejarah adalah merawat ingatan, dan menolak lupa. Sialnya, sebagaimana Kundera telah ingatkan juga, bahwa kekuasaan dan sejarah seringkali berselingkuh: dan biasanya perselingkuhan itu menghasilkan permufakatan jahat: jika sudah berselingkuh, maka sejarah menjadi legitimasi berdirinya suatu kekuasaan; dus, kekuasaan dengan getol dan nafsu memproduksi —untuk kemudian memonopoli— apa yang harus diingat, dan apa yang harus dilupakan; saya senang menyebutnya ‘kekerasan ingatan’. Di titik ini, mungkin kita akan mengerti frase sejarah adalah milik pemenang.

Apa yang dialami Tan Malaka adalah contoh terbaik bagaimana permufakatan jahat itu terjadi dalam sejarah Indonesia. Tan adalah orang pertama yang memikirkan bentuk negara Indonesia dan dengan cara apa Indonesia meraih kemerdekaannya, melalui tulisannya Naar de Republiek (1925) dan Massa Actie (1926)— dua karya yang sangat penting dan menjadi bacaan wajib kaum pergerakan dari tahun 1920-an sampai terjadinya Revolusi Indonesia— dan Tan diangkat menjadi pahlawan nasional pada tahun 1963 oleh Soekarno.

Tan dipenjara (1947) tanpa pengadilan dan ditembak mati oleh tentara Republiknya sendiri (1949). Nama Tan Malaka (apalagi jasanya!) tidak sekali pun disebut dalam buku sejarah di sekolah. Orde Baru-Soeharto —selaku permufakatan jahat setelah kup terhadap kekuasaan Soekarno pada 1965 dengan tumpah darah di mana-mana itu— melakukan kekerasan ingatan perihal Tan dan Revolusi Indonesia; bagaimana Orde Baru-Soeharto menegasikan peran Tan sebagai tokoh pergerakan pertama yang intens memikirkan bentuk dan model negara yang akan merdeka kelak— untuk kemudian Orde Baru-Soeharto mengedepankan peran militerisme, dan mengubah frasa “Revolusi Indonesia” dan mengganti dengan frasa “Perang Kemerdekaan” dalam sejarah Indonesia. Menurut Max Lane, sejarawan Marxis cum-aktivis, dengan jeli melihat kekerasan ingatan yang dilakukan Orde Baru Soeharto itu berdampak pada politik aksi massa yang menjadi identitas dan cara Indonesia mencapai kemerdekaannya, hilang dalam sejarah Indonesia setelah Gestok 1965.

Kekuasaan dan sejarah sonder tahu-malu bersenggama, salah satunya, di buku-buku sejarah sekolah. Dus melalui buku-buku sejarah yang dipergunakan di sekolah itulah kita mulai mengingat dan belajar bagaimana kita membentuk sebuah bangsa; sekolah menjadi—meminjam istilah Althuser— ‘aparatur ideologis’. Singkatnya melalui permufakatan jahat ini kita dibentuk menjadi Bangsa Indonesia, mungkin lebih tepatnya ingatan kita sebagai bangsa Indonesia dibentuk. Ingatan kita tentang Tan, aksi massa, dan Revolusi Indonesia hilang, diganti dengan ingatan jenderal anu, anggapan bahwa demonstrasi bikin macet dan kriminal, dan pemahaman sejarah yang militeristik. Sekali lagi, di titik ini, mungkin kita akan mengerti bahwa frasa sejarah adalah milik pemenang artinya penindasan.

Sumber: solopos.com
Sumber: solopos.com
Tentu bisa dibayangkan manusia Indonesia seperti apa yang sudah dan akan dihasilkan oleh permufakatan jahat itu?

Saya rasa, hal itu pun berlaku terhadap sejarah sastra Indonesia. Rivai Apin (1927-1995) adalah contoh terbaik.

A. Teeuw, kritikus sastra asal Belanda, ‘membunuh’ Rivai sebagai seorang esais dan penyair melalui penilaian-penilaiannya yang tendesius. Teeuw menganggap Rivai 'tidak begitu besar bakatnya seperti Asrul Sani', dan 'tidak juga penting sebagai penyair'. Karena menurut Teeuw, sajak-sajak Rivai 'tidak lebih dari gejala pancaroba yang menarik minat sambil lalu saja', dan 'emosi merupakan subjek dan bukan pendorong', oleh sebab itu sajak Rivai 'merosot menjadi seruan'.

Bagi saya, dalam konteks pemufakatan jahat dan kekerasan ingatan tadi, Teeuw adalah pemanjangan-tangan kekuasaan. Teeuw sebagai aparatur ideologis; karena ia memiliki keistimewaan sebagai kritikus-cum-akademisi. Pada tahun 1950-an, Teeuw—bersama HB. Jassin, mengajar di Fakultas Sastra UI—mempunyai peran untuk menentukan—atau setidaknya memberikan pengakuan—karya sastra yang baik atau tidak, seperti apa dan bagaimana—dengan begitu wajah kesusastraan seolah-olah berada di tangan kedua orang ini. Terbukti apa yang dilakukan Jassin dengan sorotannya di sejumlah majalah kebudayaan-kesusastraan seperti Kisah, Indonesia, Sastra (1950-an sampai 1965), dan Horison(1966-1990), setiap karya (esai, puisi, cerpen) ditentukan baik atau buruknya melalui sorotan itu. Hal inilah yang kemudian membuat Jassin diberi label ‘Paus Sastra Indonesia’.

Bahkan Pramoedya syak-wasangka: Jassin dan Teeuw mempunyai ‘tugas’ lebih dari sekedar membentuk wajah kesusastraan Indonesia, melainkan juga menentukan apa yang harus diingat, atau dilupakan, baik dan buruk, dll, dsb dalam sejarah sastra Indonesia. Pram menyebutnya ‘aliran Jassin-Teeuw’; usaha Teeuw-Jassin menulis sejarah sastra Indonesia modern dan mengambil titik-pijak Balai Pustaka dan Pujangga Baru adalah fakta historis yang dikemukan Pram bahwa Teeuw-Jassin berupaya menuliskan apa yang harus diingat, dan dilupakan pada sejarah sastra Indonesia. Dalam konteks seperti itulah kita perlu melihat usaha Pram untuk ‘turba’ (turun ke sejarah); ia mengangkat penulis Tionghoa sebagai akar kesusastraan Indonesia, kembali memperhatikan Bahasa Melayu-pasar sebagai cikal-bakal Bahasa Indonesia, hingga memperkenalkan Tirto, Marco, dan Semaoen dari lumpur kebiadaban kolonialisme yang menimbun nama-nama itu dalam sejarah sastra Indonesia yang dilestarikan oleh Teeuw-Jassin. Pram lekas menyadari bahwa telah dan sedang terjadi permufakatan jahat dalam sejarah sastra Indonesia.

Sumber: bibliografi.blogspot.com
Sumber: bibliografi.blogspot.com
Di titik ini, saya teringat (alm) Wijaya Herlambang; poin penting tesisnya adalah terjadinya kekerasan fisik (pembunuhan dan pembuangan jutaan orang 'diduga' Kiri) pada periode Gestok 1965 terlegitimasi karena proses kekerasan budaya sebelumnya. Artinya, terjadinya kekerasan fisik saat dan setelah Gestok 1965 seolah hal yang lumrah, karena sebelumnya telah terjadi kekerasan budaya: kekerasan budaya pada pra-Gestok 1965, kekerasan fisik pada Gestok 1965, dan kekerasan fisik-cum-kekerasan budaya pada pasca-Gestok 1965, ibarat gelombang longitudinal yang mesti dilihat satu tarikan nafas, karena dengan proses seperti inilah yang (ideologi) komunis menjadi laten di Indonesia, meskipun sudah 17 tahun Orba-Soeharto tumbang pada Mei 1998 yang lalu. Sebab yang tumbang hanyalah Rezim Orde Baru Soeharto, tetapi cara berpikir dan kelakuan Orde Baru Soeharto masih mengendap di kepala kita. Inilah dampak dari permufakatan jahat dan kekerasan ingatan itu.

Apa yang dilakukan Teeuw terhadap Rivai di atas, adalah contoh terbaik dengan apa yang disebut Wijaya sebagai kekerasan budaya. Karena penilaian-penilaian yang diberikan Teeuw terhadap sajak Rivai lebih bersifat tendesius-ideologis; terjadi kekerasan terhadap satu bentuk sastra (dalam hal ini sajak Rivai yang mencoba mencatat peristiwa politik saat aksi polisionil Belanda—yang kemudian diidentikkan sebagai sastra ‘realisme sosialis’) oleh pandangan Teeuw yang bersikap formalis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun