Oleh     : Triwardana Mokoagow
Tidak lama lagi masyarakat Indonesia akan segera menghadapi pesta demokrasi terbesar di negara ini, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019 pada tanggal 9 Juni nanti. Proses demi proses telah dilewati dalam rangka menjaring nama-nama kandidat calon Presiden sampai memunculkan dua nama yaitu Joko Widodo yang didampingi Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto yang didampingi oleh Hatta Rajasa. Nasib bangsa Indonesia untuk lima tahun mendatang di antara mereka. Masyarakat dituntut cerdas untuk menyeleksi siapa yang berhak mereka terima sebagai pelayan (Presiden) mereka. Kedaulatan rakyat sedang mencari bentuknya hari ini.
Berbagai metode digunakan untuk melakukan pendekatan-pendekatan kepada konstituen. Memanfaatkan fenomena globalisasi yang secara proses telah mempersempit ruang dan mempersingkat waktu, media massa digunakan sebagai alternatif utama dalam mempengaruhi massa. Media adalah alat hegemoni strategis yang mempermudah akses para calon Presiden untuk menjabarkan rentetan visi dan misi mereka pada masyarakat Indonesia. Mengingat realitas masyarakat Indonesia yang hari ini tengah terjebak dalam dunia yang dilipat, dunia yang seakan tanpa batas, masyarakat hiperrealitas. Sebuah teori globalisasi berbunyi; siapa yang dapat menguasai informasi, dialah yang menguasai dunia. Dalam rangka menyambut hari dimana pemilihan umum akan segera berlangsung, perang informasi sedang gencar dilakukan di depan mata kita semua.
Globalisasi merupakan fenomena liar yang tidak bisa dijinakan dengan mudah. Nilai dari bablasnya komunikasi serta informasi kemudian ditentukan oleh siapa yang menggunakannya. Globalisasi sebagai alat hegemoni akan memiliki sifat negatif ataupun positif sesuai dengan siapa dan untuk apa dia menggunakannya. Saya secara pribadi kecewa dengan realitas media hari ini yang telah kehilangan esensinya sebagai pihak yang netral yang harusnya memberitakan kebenaran pada konsumen. Disadari bahwa media adalah alat untuk mereproduksi opini publik (public opinion), para calon serta tim-tim mereka dengan masif dan terang-terangan menggunakannya sebagai alat untuk saling menjatuhkan satu sama lain.
Pers merupakan pilar ke empat demokrasi, nyatanya hari ini, pers telah menodai demokrasi itu sendiri. Sebelumnya saya merupakan tipikal orang yang begitu haus informasi kekinian yang setia menjadikan TV ONE dan METRO TV sebagai referensi atas perkembangan Indonesia yang begitu carut marut. Sekarang referensi saya sudah menghianati kekaguman saya. Demi memenangkan calon yang diusung oleh pemilik dua stasius TV tersebut, mereka menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan serta memprovokasi masyarakat dengan berita-berita negatif terhadap masing-masing lawan. Padahal Pilpres bukan ajang persaingan demi menjatuhkan citra tokoh, tapi merupakan ajang untuk memperkenalkan visi dan misi pemimpin kita. Hari ini pers telah mengecewakan masyarakat dikarenakan mereka tidak mengakomodir hak masyarakat, hak untuk menerima kebenaran dari media.
Mengenal siapa pemimpin yang akan membawa Indonesia ini untuk lima tahun kedepan bukanlah perkara yang mudah. Apalagi ketika hari ini, informasi telah direduksi serta didistorsi sedemikian rupa. Berita-berita negatif diulang-ulangi. Barangkali mereka mengikuti suatu prinsip agitasi propaganda yaitu ketika suatu berita palsu diulang-ulangi, lama kelamaan akan membuat orang lain percaya. Narasi bukanlah kebenaran, tetapi pembenaran. Lihat saja bagaimana media massa mengulang-ulangi indikasi adanya korupsi Transjakarta oleh Jokowi, begitupula dengan kasus pelanggaran HAM oleh Prabowo. Padahal kalau memang Jokowi terjerat kasus korupsi tersebut, kenapa sampai sekarang tidak ada yang memproses dugaan itu? Padahal kalau memang Prabowo pernah melakukan pelanggaran HAM yang dimaksud, kenapa tidak diajukan kembali kasus itu ke KOMNAS HAM?
Pers adalah sahabat masyarakat. Mereka senantiasa ada ketika masyarakat membutuhkan informasi dengan harapan menemukan kebenaran di dalamnya. Kebebasan pers yang dulunya didamba-dambakan Orde Baru sekarang telah mengalami kebablasan besar-besaran. Bukanlah ajang saling fitnah dan menjatuhkan yang diinginkan oleh masyarakat. Persaingan dalam menyampaikan visi dan misi yang harusnya diterima oleh bangsa kita. Bukan perang provokasi, tapi perang argumentasi yang dibutuhkan bangsa kita. Semoga masyarakat lebih selektif dalam menjatuhkan pilihan. Semoga masyarakat tidak tertipu oleh palsunya wajah demokrasi hari ini.
XXX
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H