Mohon tunggu...
Tyo Mokoagow
Tyo Mokoagow Mohon Tunggu... -

Haus ilmu. Saya bisa sakit bila tak memahami apa-apa dalam sehari

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Lokalisasi dan Problematika Moral

23 Juni 2014   18:48 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:33 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh    : Triwardana Mokoagow

www.triwardanamokoagow.blogspot.com

Perempuan merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang di dalam dirinya terkandung harkat dan martabat sebagai manusia yang memiliki kesetaraan dalam politik, sosial, dan ekonomi yang sama dengan laki-laki. Dalam drama kosmos yang terkenal, diketahui bahwa perempuan pertama, yaitu Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal ini mengisyaratkan bahwa laki-laki senantiasa harus menjaga wanita seperti dia menjaga dirinya sendiri. Barangkali merupakan kekeliruan bagi saya apabila ada yang mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan tidak diciptakan secara bersamaan. Laki-laki dan perempuan diciptakan secara bersama-sama hanya saja di tempat yang berbeda.

Berbicara tentang status ontologis wanita, bila kita melihat ke peristiwa-peristiwa Sejarah yang terjadi di belakang hari ini, maka akan kita dapati bahwa sejarah status ontologis wanita didominasi oleh perlakuan serta diskriminasi secara besar-besaran. Berawal dari zaman Yunani Klasik, Plato menulis “Saya bersyukur kepada dewa-dewa atas delapan berkat”, salah satu berkat tersebut adalah terlahir bukan sebagai seorang perempuan. Aristoteles mengatakan bahwa perempuan adalah lelaki yang tidak sempurna. Beliau mengatakan bahwa kelahiran seorang perempuan dalam suatu keluarga merupakan citra yang jelek.

Bukan  hanya di Yunani fenomena tersebut muncul. Begitupula di Mesir, anak perempuan yang lahir apabila tidak digendong oleh ayahnya seusai lahir maka anak tersebut akan diletakkan di lapangan atau di tempat-tempat ritual dan ketika dipunggut maka anak tersebut bebas dijadikan budak oleh yang memunggut. Lain pula di India, meskipun terkenal dengan pengetahuan dan kebudayaannya, wanita hanya dianggap sebagai bayangan lelaki, ketika suami dari seorang wanita meninggal maka jasad suaminya ikut dibakar bersama sang istri meskipun itu artinya sang istri harus dibakar hidup-hidup. Di Cina kuno, kita mendapati hal yang hampir serupa, wanita hanya dijadikan budak, ketika wanita menikah dengan seorang laki-laki maka kebbesan wanita tersebut ditentukan oleh suaminya, bahkan di titik yang paling ekstrem, sang istri dapat diperjualbelikan menjadi budak. Di zaman Jahiliyah pra-Islam, dikenal dengan puncak perilaku barbar, bukan suatu dosa bagi mereka apabila membunuh bayi perempuan yang baru saja lahir dari rahim ibunya sebab perempuan dianggap sebagai simbol kelemahan dan kehinaan keluarga.

Meskipun masih banyak bangsa-bangsa terdahulu yang seringkali mengobjektivikasikan wanita seperti benda mati, barangkali penulis merasa bahwa lima bangsa diatas cukup untuk mewakili posisi wanita dalam Sejarah bangsa-bangsa yang bahkan dianggap sebagai bangsa yang memiliki peradaban. Dengan melihat latar belakang historis tersebut maka kita bisa berasumsi bahwa persoalan gender merupakan persoalan yang telah mengakar sejak beribu-ribu tahun lamanya.

Fenomena tersebut kemudian menempatkan wanita pada titik nol. Titik dimana mereka tidak dipandang sebagai manusia lagi, tetapi sebagai komoditas. Kebebasan serta kehendak bebas (free will) yang Tuhan anugerahkan pada mereka dirampas dan dieksploitasi. Jean Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis dari Perancis merumuskan suatu konsep tentang kebebasan individual. Selama manusia menjadi bahan objektivikas maka manusia tidak memiliki kebebasan. Hal demikian terjadi pada perjalanan panjang Sejarah diskrimansi gender. Wanita dianggap sebagai objek, bukan subjek. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa laki-laki adalah pusat alam semesta. Bagaimana dengan posisi wanita? Dalam konteks yang demikian, ketika wanita diobjektivikasi, maka tidak akan berbeda lagi posisi wanita dengan komoditas yang dapat diperjualbelikan.

Memang teks Sejarah menuliskan mengenai revolusi industri di Perancis pada akhir abad ke 18 yang didalamnya salah satunya mengenai perubahan paradigma dengan mulai diakuinya kesetaraan gender. Akan tetapi meskipun diskriminasi secara fisik secara perlahan-lahan sudah mulai berkurang, diskriminasi serta eksploitasi berubah wajah pada dunia modern ini dengan kedok rumah prostitusi. Fenomena prostitusi ini kemudian dijadikan sebagai tempat pelarian wanita. Wanita bukan sekedar diobjektivikasi, akan tetapi mereka sendirilah yang bersedia untuk dijadikan objek sebagai komoditas di sebuah pasar yang bernama pasar pelacuran. Berbagai alasan kemudian dikemukakan oleh mereka sebagai tameng untuk sekedar menjadi pembenaran atas profesi yang dilakoni. Entah itu alasan ekonomi, sosial, keluarga, pribadi, bahkan ada yang dengan berani mengakui bahwa mereka rela terjun ke dunia itu dengan sukarela tanpa didasari motif apapun.Hanya saja, meskipun mereka menjadikan alasan-alasan tersebut sebagai pembenaran atas apa yang mereka lakukan, tidak dapat dipungkir bahwa problematika baru lahir, problematika yang lebih besar dan berbahaya, yakni problematika Moral.

Di Indonesia sendiri sekarang sedang hangat berita tentang penutupan lokalisasi gank Dolly. Gank Dolly dikenal dengan salah satu tempat prostitusi yang besar di Indonesia. Rumah pelacuran yang berada di Kota Surabaya tersebut kemudian ditutup secara paksa oleh Risma selaku walikota Surabaya. Beragam perspektif kemudian muncul di tengah-tengah panasnya atmosfer menjelang Pilpres. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Masyarakat yang kontra kemudian berkoar-koar, mengatakan bahwa penutupan lokalisasi Dolly bukanlah hal yang tepat. Bagi mereka, pelacuran adalah pekerjaan tertua sepanjang sejarah umat manusia dan tidak bisa dihentikan. Mereka mengatakan bahwa lokalisasi merupakan jalan keluar atas problematika ekonomi dan kesenjangan sosial yang tengah melanda masyarakat. Lokalisasi tempat prostitusi dianggap sebagai jalan alternatif untuk mengurangi kesenjangan sosial.

Barangkali ada hal yang dilupakan oleh mereka. Dalam teori ekonomo kita mengenal apa yang disebut dengan Anglomerasi yaitu teori pemusatan pasar untuk meningkatkan kurva suply  and demand. Dengan pemusatan pasar, maka tingkat konsumsi dan produksi cenderung meningkat. Begitupula halnya dengan strategi lokalisasi. Ketika wanita “malam” dialokasikan ke satu titik, maka tingkat konsumsi masyarakat cenderung meningkat. Rupanya ada fenomena lain yang luput dari pandangan mereka yang menolak penutupan rumah prostitusi. Ketika mereka menganggap lokalisasi merupakan alternatif penyelesaian problematika sosial, ada problematika baru yang lahir kemudian; PROBLEMATIKA MORAL. Fenomena prostitusi kemudian melahirkan efek domino bagi masyarakat bahkan sampai menerobos batas-batas privat. Fenomena laki-laki hidung belang yang mayoritas sudah berkeluarga kemudian datang menapakan kaki mereka di rumah prostitusi, permasalahan moral kemudian lahir dengan mengorbankan martabat keluarganya. Bahkan, diketahui salah satu PSK di Dolly yang sudah tergolong lanjut usia pernah menuturkan bahwa dia seringkali melayani pelanggan yang ternyata masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

***

Sartre bertahun-tahun lalu pernah menawarkan suatu konsepsi mengenai masyarakat yang dia sebut dengan masyarakat pasca-pertaubatan. Masyarakat yang bertaubat bagi Sartre adalah masyarakat yang memberontak atas objektivikasi orang lain. Bagi Sartre manusia dibentuk oleh pandangan orang lain. Ketika orang lain menganggap bahwa kita adalah jelek, kita cenderung beranggapan hal yang sama. Ketika orang lain menganggap bahwa kita adalah manusia yang memiliki harga diri, kita cenderung beranggapan hal yang sama. Ketika orang lain menganggap bahwa kita tidak lebih dari sekedar komoditas, maka kita cenderung akan beranggapan hal yang sama. Masyarakat yang bertaubat adalah masyarakat yang memberontak atas tatapan mata orang lain yang menjadikan manusia tersebut menjadi tidak bebas. Ketika manusia menolak pemahaman bahwa “manusia dibentuk oleh pandangan manusia lain”, maka pada saat itu dia terbebas dari jeratan objektivikasi sehingga manusia bukan lagi sebagai objek melainkan subjek. Dengan demikian, masyarkat pasca-pertaubatan adalah masyarakat dimana manusia sebagai individu saling memposisikan diri sebagai subjek satu sama lain, bukan sebagai objek. Sartre meskipun pada awal masa hidupnya memegang tegus prinsip individualistik, akan tetapi di masa tua dia mulai mendapatkan pencerahan dengan pandangan-pandangan Humanisme (Akan saya tuliskan pada lain kesempatan).

Berkaitan dengan fenomena penutupan lokalisasi gank Dolly oleh ibu Risma di Surabaya, bagi penulis ini adalah langkah berani dan sangat terpuji dalam rangka mengantarkan masyarakat ke depan pintu pertaubatan Sartre. Upaya menutup gank Dolly memiliki makna bahwa masyarakat menghendaki kebebasan bagi para wanita yang dijadikan komoditas di rumah prostitusi. Masyarakat menghendaki upaya untuk “memanusiakan” manusia. Semoga upaya tersebut menjadi langkah awal, yang nantinya dapat memberika pencerahan kepada daerah-daerah bahkan negara lain untuk berinisiasi melakukan hal yang sama. Dengan demikian sejarah panjang diskrimnasi dan eksploitasi gender dapat berakhir.

“Wanita adalah tiang negara. Apabila baik wanitanya maka baiklah negaranya dan bila rusak wanitanya maka rusaklah negaranya” (Hadis)

*20 Juni, 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun