Mohon tunggu...
Tyo Mokoagow
Tyo Mokoagow Mohon Tunggu... -

Haus ilmu. Saya bisa sakit bila tak memahami apa-apa dalam sehari

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan Sang Legislator Langit

16 Februari 2015   00:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:08 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

www.triwardanamokoagow.blogspot.com

Oleh: Triwardana Mokoagow

Tuhan, Allah, Yahweh, El, Eli, El-Shadai, Yehovah, God, dan lain sebagainya adalah beberapa nama yang seringkali diucapkan oleh umat manusia untuk menyebut-Nya sesuai dengan interpretasi mereka pada masing-masing agama. Meskipun memiliki nama yang beragam, akan tetapi sesungguhnya nama tersebut menandai satu oknum yang sama. Hanya saja nama tersebut mewakili karakteristik yang masing-masing berbeda dan terformalisasikan dalam sebuah agama (religion) sebagai sistem keyakinan atau kepercayaan tertentu.

Akibat manusia yang terbatasi oleh berbagai sifat pembeda (differentia) sebagai suatu kepastian yang pasti ada dan tidak mungkin tidak ada, entah itu dikarenakan latar belakang budaya, agama, realitas sosial, sejarah, tempat, waktu dan lain sebagainya. Sehingga persepsi tiap orang terhadap segala sesuatu meskipun sesuatu tersebut adalah hal yang sama, sangat mungkin terjadi berbagai macam interpretasi. Dalam buku yang mengupas orasi ilmiah Karlina Supeli tentang Kosmologi dan Dialog, beliau mengatakan bahwa ciri ini disebut dengan watak antropologis ilmu pengetahuan. Bahwa pengetahuan selalu dicerap dengan cara berbeda dan dengan hasil berbeda pula sesuai dengan latar belakang tiap orang yang senantiasa berbeda. Dan meskipun terdapat dua orang yang terlahir dalam keadaan kembar, tetap saja pengalaman empiris mereka dalam kehidupan sehari-hari pasti berbeda.

Barangkali hal inilah yang menyebabkan terjadinya persebaran agama yang nyatanya lahir dari realitas yang sama, dari upaya untuk memahami transedensi Tuhan. Jangankan dalam memahami transedensi Tuhan secara universal, dalam satu agama saja masih sering terdapat perbedaan interpretasi atas agama tersebut sehingga menimbulkan berbagai macam aliran pemikiran (mahzab). Dalam Islam kita mengenal kelompok Wahabi, Syi’ah, Sunni, Jabariyah, Qadariyah, Muktazilah, Asy’ariah, Al-Mujassimah, dll. Dalam Kristen, kita mengenal Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Mohammad Arkoun mengatakan, bahwa pluralitas penafsiran adalah rahmat bagi manusia. Tidak heran, sering terdengar bahwa nilai yang diwahyukan Tuhan itu pasti Absolut, hanya saja interpretasi atas nilai tersebut serta aplikasinya yang bersifat relatif dan kontekstual karena bersifat sosio-historis. Sepakat dengan bapak Komarudin Hidayat, bahwa permasalahan utama adalah ketika terjadi absolutisasi penafsiran yang memukul lonceng kematian hermeneutika. Apabila hal demikian terjadi, fenomena ekstremisme agama, fundamentalisme dan lain sebagainya tidak akan terelakan. Entah karena mereka berkeyakinan jikalau mati, mungkin surga bagi mereka akan full AC.

Ciri antropologis pengetahuan ini menuntut agar dibuat suatu upaya dialog antara tiap pemeluk keyakinan entah itu dalam perbedaan agama ataupun mahzab. Berbeda dengan komunikasi yang sekedar bertukar informasi, dialog adalah upaya untuk memahami perbedaan satu sama lain dan membangun pernghormatan atas perbedaan tersebut. Di dalam era globalisasi ini, dimana ruang telah mengalami penyempitan dan waktu telah tersingkatkan akibat bergulirnya arus informasi dan komunikasi yang mulai membuyarkan batas-batas teritorial antar negara, tidak pelak lagi bahwa kompleksitas tersebut membawa umat manusia dapat dengan mudah bersentuhan satu sama lain. Konsekuensi logis dari fenomena global ini adalah, dikarenakan manusia dapat dengan mudah bersentuhan satu sama lain maka dampak benturan budaya serta konflik menyimpan potensi besar untuk terjadi. Sebagai solusi, telah banyak dipersembahkan oleh para pemikir serta tokoh-tokoh dunia untuk membudayakan toleransi serta dialog dalam pergaulan lintas-bangsa, lintas-negara, dan lintas-lain-lain.

Perbedaan dapat dipahami sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Umat manusia harus menghargai dan menghormati pendapat orang lain tanpa memaksakan perubahan atas keyakinan orang lain apabila secara rasional dan/atau intuitif tidak dapat diterima oleh mereka. Perbedaan tersebut dapat terjadi dalam setiap lini kehidupan dan keyakinan. Salah satu yang menjadi perbedaan besar adalah perbedaan dalam mempersepsi Tuhan. Pluralitas “wajah” Tuhan senantiasa berbeda sesuai dengan apa yang dipahami oleh agama dan berbagai mahzab. Bagi agama Yahudi, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang keras dengan aturannya yang tercermin dari 10 perintah Tuhan (ten commandments) yang diturunkan kepada Musa. Dalam Injil, Tuhan digambarkan sebagai seorang yang dipenuhi dengan kasih sayang dan kelembutan. Bahkan Erich Fromm menyatakan bahwa Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tampaknya berbeda. Buddha mengatakan bahwa bagaimana mungkin kita mengungkapkan Yang Maha Tidak Terbatas dengan bahasa yang seyogyanya sangat terbatas. Dalam Hindu, Tuhan menjelmakan dirinya dalam bentuk manusia bernama Krishna. Dalam Islam sendiri, bagi yang concern dalam permasalahan fiqh (hukum Islam) Tuhan menjelma menjadi hakim dan bagi orang yang concern terhadap makrifat maka Tuhan adalah kekasih bagi mereka. Saking beragamnya “wajah” tuhan yang tersebar dimana-mana, para filsuf menunjukan ekspresi filosofis masing-masing mereka bahwa itu tuhan tidak lebih dari delusi (Sigmund Freud) atau agama hanyalah masalah selera (Feurbeach) atau religion is the opium for the people/agama adalah candu masyarakat(Karl Marx) atau Gott is Tott/Tuhan telah mati (yang mulia Friedrich Nietzche).

Dalam tulisan kali ini, saya akan menjabarkan Tuhan sebagai seorang legislator yang melaksanakan tugasnya dalam membuat hukum-hukum yang mengikat alam semesta. Sepertinya terma-terma yang akan digunakan dalam teks kali ini berkaitan erat dengan terma yang seringkali digunakan dalam disiplin ilmu hukum terutama dalam ketatanegaraan dan filsafat hukum. St Agustinus, seorang filsuf moralis pernah menulis buku tentang Kerajaan Tuhan. Hanya saja dikarenakan konsep kerajaan atau Monarki tidak mengenal konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam artian modern, mungkin konsep pemisahan tugas dalam konteks ini bisa kita sebut dengan “Negara Tuhan Yang Demokratis”.

Setelah sistem Monarki Absolutnya Hobbes dan Monarki Konstitusionalnya Hegel ditolak, umat manusia berupaya untuk mengeksplorasi pola pemerintahan yang ideal dan bahkan tidak jarang utopis seperti yang pernah ditawarkan oleh Nazi di Jerman dan Komunis tentang masyarakat tanpa kelas. Hingga abad ke 20, masyarakat global (global citizen) berhasil mengalami trauma besar atas kedigdayaan sistem pemerintahan yang otoriterianisme serta totaliter yang telah menunjukan wajah serta perilaku tiranik terhadap warganya. Pemusatan kekuasaan (sentralization) berhasil menunjukan wajah mengerikan dan horror yang terekam oleh sejarah sebagai fakta yang tak terbantahkan lewat peristiwa Genosida, Nuklir, perang, Holocaust, kudeta, pemusnahan massal dan lain sebagainya. Barangkali kita tidak bisa untuk tidak sepakat atas suatu adagium dari Lord Acton, bahwa: “absolute power will corrupt absolutely”.

Sejarah sebagai sebuah fenomena yang bergerak atas dasar rasio manusia, mulai mencari bentuknya dengan dialektika dan diskursus dalam ruang publik. Umat manusia menaruh harapan besar terhadap solusi yang sekiranya terberi dari proses sejarah ini. Berbagai pemikir dari berbagai negara dan disiplin ilmu dengan sengaja melibatkan diri mereka untuk ikut memikirkan formulasi-formulasi yang pas demi menjawab tantangan zaman (zeitgeist) dengan harapan dapat diterima sebagai bagian dari jiwa masyarkat (volkgeist).

Wacana yang berkembang di permukaan adalah wacana tentang teori pemisahan kekuasaan (separation of power). Berbagai pemikir memiliki versi mereka masing-masing. Hanya saja yang paling banyak diterima dalam arti modern dalam arti yang paling demokratis adalah pemikiran Montesquieu yakni tentang pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif, legislatif dan Yudikatif. Lembaga Yudikatif adalah lembaga yang menjustifikasi warga negara sesuai dengan norma hukum yang ada sehingga diharapkan bisa menciptakan ketertiban, kedamaian, keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Lembaga eksekutif merupakan eksekutor dari tujuan negara yang turun langsung untuk membuat program-program yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat entah itu di bidang infrastruktur, pendidikan, budaya, sosial, politik dan lain sebagainya. Sedangkan lembaga Legislatif adalah lembaga yang menciptakan norma-norma hukum disamping memiliki fungsi pengawasan dan budgeting.

Dalam perjalanannya, teori ini baru terealisasikan secara sungguh-sungguh pada abad 20 yang merupakan abad pengetahuan (aged of knowledge) dan abad revolusi (aged of revolution). Meskipun, secara tersirat, praktek pemisahan kekuasaan atau pemisahan tugas dan fungsi ini sudah dilaksanakan dari awal sejak sebelum penciptaan manusia oleh Tuhan dan para malaikat dari Arsy-Nya yang seringkali digambarkan dalam beberapa kitab suci dan agama-agama terutama agama samawi atau agama langit atau agama wahyu. Kitab-kitab suci mengilustrasikan para malaikat sebagai agen yang mengeksekusi norma-norma yang diciptakan Tuhan. Beberapa dari para pejabat eksekutif ini ialah Malaikat Jibril/Gabriel bertugas sebagai mediator antara manusia terutama nabi dalam hal berkomunikasi dengan Tuhan. Malaikat Mikail/Michael bertugas untuk mengatur lalu lintas alam semesta berupa fenomena-fenomena cuaca, panas, hujan, dingin dan lain sebagainya. Malaikat Izrail bertugas sebagai supir yang menjemput manusia agar pulang kepada Tuhan. Malaikat Izrafil bertugas membunyikan terompet sangkakala dalam rangka merayakan hari mudik sejagad raya.

Sedangkan Tuhan di atas Singgasana-Nya yang disebut Arsy, tengah membuat suatu ketetapan yang merupakan keharusan universal dan takdir sebagai risalah bagi umat manusia. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan terdiri dari dua, ada hukum yang bersifat mutlak-universal yang berlaku dan tidak dapat dirubah sama sekali tanpa persetujuan-Nya dan ada hukum yang berlaku temporal-partikular yang dapat berubah sewaktu-waktu tergantung dari fleksibilitasnya sendiri. Hukum yang berlaku mutlak tersebut kita kenal dengan (salah satunya) istilah prima principa (prinsip dasar) yaitu tentang prinsip identitas, prinsip non-kontradiksi, dll. Apel yang copot dari dahan pohon pasti akan jatuh ke bawah sebagai konsekuensi gravitasi. Pelampung yang mengapung di permukaan air diakibatkan karena massa jenis air lebih besar dibanding pelampung tersebut. Berbagai macam gaya dan berbagai macam energi serta daya yang terkonkritisasi dan terabtraksikan lewat rumus-rumus Fisika yang ada, adalah kreasi dari sang Maestro Langit; Tuhan.

Setelah alam semesta sudah siap, setelah 6 juta tahun lamanya manusia goa telah berevolusi dari zaman batu, besi hingga perunggu, dan sekitar (kurang lebih) 200.000 tahun yang lalu manusia modern (homo saphiens) akan segera untuk siap diterbitkan, maka dari sanalah Tuhan berlaku bak legislator. Tuhan mewahyukan kehendaknya, sebagai patokan moral atas baik-buruk dan benar-salah. Atas laku etis dan laku moralis. Risalah tersebut ditunkan kepada manajer-manajer Tuhan di muka Bumi (meminjam istilah dalam film P.K.(wajib ditonton)). yang kita kenal dengan sebutan nabi. Diperkirakan sekitar 124.000 nabi dan kurang lebih 600 Rasul diutus serta sekurang-kurangnya 104 Kitab suci sebagai kitab Undang-Undang yang sudah dikodifikasi dalam berbagai rupa telah rampung yang ditujukan sebagai pedoman. Setelah umat manusia mencerap budaya oral dan tulis yang pertama kali diperkenalkan oleh masyarakat Mesir pada tahun 3200 SM dengan hiroglifnya, tahun 2000 SM Cina dan Jepang muncul dengan Logografnya, hingga orang-orang Sumeria menciptakan sistem tulisan segi (cuneiform) yang menjadi cikal bakal alfabet. Akhirnya berbagai macam kitab suci yang berintikan hukum-hukum Tuhan tentang norma Universal maupun Partikular bertebaran ke mana-mana sampai ke berbagai pelosok dunia lewat perantara teks.

Tuhan sebagai Sang Legislator adalah Absolut. Dalam buku Bentham, syarat utama dan barangkali paling pokok dari seorang legislator adalah kualitas moral yang baik. Siapa yang memiliki kapasitas itu selain Sang Pencipta Neraca Moral itu sendiri ? Siapa yang memiliki kepantasan itu selain Dia, Yang Sang Membolak-Balikkan Hati? Siapa yang paling tau moral selain Oknum yang merancang konsep moral itu sedemikian rupa di lembar lukis, atau meja belajar, atau dapur Ilahi, dan seribu atau lain yang mengikutinya.

Tuhan adalah Zat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demikian pula, Dia, adalah Zat yang Maha Bijaksana dan Maha Memberi Keadilan. Sehingga setiap konsekuensi yang terlapor, haruslah dilucuti satu persatu dalam ruang penilaian. Apakah Tuhan harus memberikan reward ataukah punishment dalam pemaparan LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) manusia di Padang Mashyar, arena terakhir, sidang pleno terakhir dari setiap rapat. Ketukan palu yang diketoknya berbunyi mutlak dengan irama: “Kun...” dalam imajinasi Keadilan Ilahi di ruangan Eskatologis/Maad/Final Judgements/Kiamat.

Tuhan adalah seorang legislator yang handal. Akan tetapi sebagai seorang legislator, apakah mahzab Tuhan? Sosiologische Jurisprudence-kah? Atau Positvisme? Atau Naturalisme? Atau diluar dan lain dari itu semua-kah? Tuhan menciptakan norma-norma yuridis dengan ketus dan tegas penuh wibawa dalam rangka membebaskan budak, yang awalnya merupakan manusia segudang kewajiban akan tetapi nir-hak, menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Tuhan-pun menciptakan norma-norma yang super variatif entah itu dalam pengaturan ekonomi (tentang hukum waris dan zakat), mengatur tentang realitas sosial seperti (salah satunya dan paling penting) melindungi kelompok musthad’afin (tertindas) dalam relasi masyarakat (hablumminannass). Tuhan juga memberlakukan aturan atau hukum sebagai prinsip dalam medan peperangan seperti Hukum Humaniter Islam. Tuhan juga membuat suatu norma yang berlaku secara individual dan bersifat imperatif (memaksa) seperti jangan korupsi, jangan mencuri, jangan.. jangan... jangan...

Dalam konteks ini kita patut mempredikatkan pada Tuhan, bahwa Tuhan adalah seorang legislator sejati yang tiada bandingnya di jagad raya ini. Dalam konteks ini pula kita memahami, bahwasanya Tuhan menerapkan Hukum Ilahi sebagai social engineering (hukum sebagai alat rekayasa sosial)agar umat manusia tidak mengalami yang namanya kacau balau (chaos). Jikalau ada yang bercita-cita untuk menjadi seorang legislator, belajarlah, percayalah, yakinlah, tanamkanlah dalam hati mereka citra Tuhan sebagai patron atas harapan yang kelak menyelaraskan laku dan ucapan mereka dalam duduk dan berdiri, berjalan maupun berlari, agar supaya mereka termotivasi dengan Tuhan. Akan tetapi jangan terperosok dalam kesesatan tafsir bahwa kita harus mengkudeta Tuhan, oh tidak, bukan itu poinnya.

Perdebatan mahzab hukum yang awalnya antara paham naturalisme versus positivisme, telah mengalami pergeseran bagaikan isyarat Thomas Kuhn yang lekas terjadi menjadi perseturuan intelektual antara mahzab sosiologisme versus positivisme. Dalam problema yang menghadang kedua aliran yang berseberangan argumen tadi, terjadi persilangan gagasan antara hukum sebagai alat rekayasa sosial ataukah realitas sosial yang mempengaruhi pola perubahan hukum? Antara logika deduktif dan logika induktif? Antara rasionalisme dan empirisme? Sayangnya jawaban ideal atas pertanyaan itu bukan berarti kita harus meniru Tuhan yang dalam praktek-Nya bermahzab positvisme. Prof. Romly Atsasmita pernah mengatakan, sebelum kita melakukan social engineering, terlebih dahulu adalah mari kita melakukan beuracratic engineering (reformasi birokrasi) dengan harapan merubah pola serta hubungan dan laku moral dari para birokrat. Tuhan beserta jajaran-Nya tentu saja sudah tuntas tanpa perlu dipertanyakan lagi, pasti melaksanakan hal-hal demikian.

Dalam tulisan ini, pertama, saya hanya ingin menampilkan fakta bahwasanya memang pada awalnya praktek pemisahan kekuasaan (separation of power) sudah dipraktekan sejak sebelum manusia dalam arti modern diciptakan. Kedua, bukan berarti kita secara radikal berpikir dan saking termotifasinya sehingga ingin melebihi Tuhan, itu sombong namanya. Ketiga, saya tidak tau ini genrenya apa, jikalau bisa disebut teologi, ilmu kalam, mistisme, sufisme, makrifatullah, filsafat, hukum ataupun absurd, saya persilahkan pembaca menggunakan haknya untuk menilai sendiri. Keempat, dikarenakan Tuhan yang diilustrasikan disini dipersepsikan sebagai seorang legislator, bukan berarti Dia adalah legislator dalam arti yang sesungguhnya, penulis hanya ingin membeberkan informasi yang imajinatif agar mudah ditulis dan dipahami. Kelima, karena Tuhan dan Teks sebagai hukum Ilahi yang telah terobjektifikasi disini seringkali bertautan dan disebutkan, bukan berarti tulisan ini mengarahkan pembaca untuk menganut paham skriptualisme atau biblioatri yang lebih menyembah teks secara harfiah/leksikal daripada esensi transendenitas yang terkadung dalam teks tersebut sebagai meta-teks. Ketujuh, penulis tidak menghendaki teks ini suatu saat nanti akan disinyalir membawa aroma ideologi tertentu baik di alam pemikiran hukum maupun agama, tidak ada tendensi ke sana, penulis hanya ingin menerjemahkan akal penulis secara jujur dan sederhana serta apa adanya.

Pada akhir paragraf ini, marilah kita sepakati bersama proposisi Sachiko Murata: Tuhan yang dibicarakan, bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Bahwa dalam teologi negatif (teologi salbiyah) kita mengenal bahwa meskipun seribu nama dilekatkan pada-Nya, dia Ada jauh sebelum sistem simbol, tanda dan nama itu sudah ada, dan bahkan Tuhan tidak membutuhkan nama maupun gelar tapi bukan berarti pula kita dilarang membicarakan Tuhan. Tuhan yang dibicarakan bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Tidak Terbatas bisa dipahami oleh kerangka berpikir akal sehat manusia yang sangat-sangat terbatas sifatnya. Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Agung bisa dikonsepsikan, sedangkan konsepsi bertujuan untuk membatasi sesuatu agar tidak terlalu sempit dan/atau tidak terlalu luas supaya bisa dipahami, sedangkan Tuhan itu Maha Tidak Terbatas? Sehingga Tuhan yang kita bicarakan, Tuhan yang diyakini, Tuhan yang dipikirkan, Tuhan yang dikonsepsikan, Tuhan yang tertuliskan, pastilah bukan Tuhan yang sesungguhnya!

Sebaiknya kita ucapkan saja dengan rendah hati: “Wallahu ‘alam...”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun