Mohon tunggu...
Mustyana Tya
Mustyana Tya Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis, jurnalis dan linguis

Seorang pejalan yang punya kesempatan dan cerita

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Perseteruan Pasutri Perbatasan hingga Gelapnya Perairan Natuna

13 Januari 2024   15:51 Diperbarui: 14 Januari 2024   10:44 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya puncak liputan kita di Pulau Laut selesai juga dan saatnya kembali menuju Ranai, Natuna. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini kepulangan kita bersama dengan beberapa orang warlok, termasuk juga pasutri dan anak-anaknya. Si ibu ini tergeletak tak berdaya lantaran habis keguguran dan karena terjadi komplikasi kesehatan yang tak bisa ditangani bidan makanya dirujuk lah ke RSUD di Ranai.

Sebagai informasi, tidak ada dokter kandungan ataupun dokter lainnya di Pulau Laut ini. Cuma ada seorang bidan dan itupun datang bersama kita beberapa waktu lalu. Dengan selang infus yang menjuntai, si ibu cuma terbaring lemah sembari menahan nyeri. Sementara saya sudah siap-siap menenggak antimo supaya bisa tidur nyaman di perahu dan tidak mabuk lagi dihantam ombak laut.

Hingga tidur lelap saya mendadak lenyap, gegara pasutri ini bertengkar. Saya yang masih dalam posisi mengerjap-ngerjap ikut mendengarkan perseteruan ini. begini kira-kira pertengkarannya,

dok pribadi
dok pribadi
Istri: Ini dong urus anaknya, masa saya semua (anaknya yang kecil menangis rewel). Kamu tuh bisanya apa. Semua-semua saya yang kerjain.

Suami: Sabar-sabar

Istri: Kalau kayak gini pisah saja lah.

Suami: Kamu kalau punya mulut dijaga, ngomong sembarangan aja (lalu si suami keluar dengan anaknya yang masih meraung-raung).

Saya yang udah dalam posisi melek tetapi belum sadar betul apa yang terjadi lalu mengumpulkan tenaga untuk keluar dari situasi yang rumit ini. Si istri makin terisak sembari menahan perih dan saya sadar dia malu mempertontonkan peliknya rumah tangganya di hadapan saya.

Saya memutuskan keluar dek kapal dan bergabung dengan teman-teman saya yang sudah sedari tadi bangun menikmati langit yang semakin sore semakin cantik. Langit menjadi orange dan ungu kemudian gelap.

dok pribadi 
dok pribadi 
Tak ada penerangan yang memadai selain lampu tembak di kapal. Lampu ini rupanya membuat ikan-ikan berkumpul di sisi-sisi kapal kami hingga awak kapal membawa kabar kurang menyenangkan. Katanya, kapal kami tak bisa merapat ke daratan karena airnya surut. Jadi kita harus tunggu dulu kapal katingting yang lebih kecil menjemput kita.

Saya lebih khawatir dengan sang ibu karena kondisinya lemah apalagi tenaganya habis untuk menangis dan bertengkar dengan suami. Tentu bukan hal yang mudah menjadi warga perbatasan yang apa-apa sulit plus ditambah dengan ketiadaan akses dan layanan kesehatan. Semua orang jadi stres dan gundah gulana.

Si ibu pun ikut juga naik katingting dengan penerangan dari sebuah senter saja. Terbayang bagaimana sulitnya dia dengan infus di tangan dan harus berbaring. Malam itu benar-benar gelap gulita dan dia pun punya anak kecil lainnya beserta barang-barang yang banyak. Kami pun ikutan bahu membahu membantunya berpindah perahu sembari berharap tak ada hal yang buruk lagi terjadi padanya.

dok pribadi 
dok pribadi 
Hingga giliran saya dan rekan-rekan untuk berpindah perahu, deg degan plus over thinking langsung menyerbu perasaan dan pikiran saya. Gimana gak, ini perahu cuma bisa diisi 3-4 orang plus barang-barang kita. Jadi harus penuh perhitungan dimana harus duduk supaya ini kapal yang rentan ini gak tenggelam. Sebenernya perjalanan menuju daratan itu cuma 15 menit tapi serasa lama banget. Apalagi saya ga bisa lihat apa-apa cuma ada senter dengan cahaya remang yang jadi penerang kita. Si bapak sih bilang gak apa-apa, tenang aja. Tapi tetep aja pak ini berasa lagi di film harry potter yang bagian scene berperahu malem-malem. Takut-takut ada yang menyergap di kanan kirinya. Yekan.

dok pribadi 
dok pribadi 
Hingga sampai lah kita di daratan yang ternyata ada beberapa kios penjual indomie, sungguh jadi penghiburan yang berarti dan membuat kita lebih relaks. Di setiap sendok mie yang asapnya masih mengepul, kami membicarakan pasutri tadi. Ternyata bukan saya saja yang tahu pertengkaran itu, bahkan teman-teman juga ikut nonton dan merasa gelisah. Yah, kita berharap dia lekas pulih begitu juga rumah tangganya.

Untungnya, besok hari terakhir kami bertugas dan bakalan snorkeling di pulau hamil. Loh hamil? penasaran? nantikan terus ceritanya.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun