Yeay... akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba, apalagi kalau bukan berlayar ke Pulau Laut, pulau yang jadi perbatasan dengan negara Vietnam. Pagi benar saya sudah bersiap dan mulai berlabuh di satu dermaga yang terletak di perkampungan warga.
Tapi untuk menuju kapal utama, kita harus naik katiting berdesakan dengan warga-warga lain. Untuk ke Pulau Laut pun kami membawa serta tentara TNI AL yang akan menjadi pintu bagi kami melihat kekuatan TNI di perbatasan Pulau Sekatung.
Di sini, aku bersama satu bidan yang bertugas di Pulau Laut. Konon katanya, tak ada dokter di sana, cuma ada satu bidan yang menjadi tumpuan warga di perbatasan itu. Nanti saat pulang saya menyadari betapa mengenaskannya pelayanan kesehatan di perbatasan.
Natuna dari Pulau Laut. Menuju ke Pulau Laut, kami memerlukan waktu sekitar 4 jam tapi jangan salah tak ada laut yang tenang selama kami berlayar. Ombak menggulung yang membuat kapal berayun terus. Sebenernya ini udah diwanti-wanti sama nahkoda, langsung deh gercep ambil antimo trus tidur walaupun di samping kanan kiri lelaki Pak Manager dan kawan-kawan saya.
Ok kami pun sudah sampai di kapal milik Kecamatan Pulau Laut. Kapal yang tidak terlalu besar dan biasa ditumpangi 8-10 orang. Kapal ini lah yang jadi satu-satunya harapan warga pulang pergi ke kabupaten kota
Sadar dari tidur ternyata beberapa teman saya malah cekikikan asyik mancing pakai benang walaupun itu ombak gak main-main. Sementara temen saya yang lain berbisik, "Tau gak masa TNInya mabok" hahaha, anjay gimana ceritanya. Sampai di Pulau Laut kami istirahat sebentar di rumah Pak Camat dan kami diberikan sekamar yang mirip kontrakan daripada motel.
Gak lama, ada cerita menarik yang keluar dari mulut warga di sini. Soalnya banyaknya kuburan imigran gelap Vietnam. Ini terjadi karena dulu banyak orang Vietnam datang ke Pulau Laut yang jaraknya cuma 3 jam berperahu saat perang Vietnam berkecamuk dulu.Â
Mereka membawa anak istri sampai harta-harta mereka hingga beranak pinak di sini. Warga di sini menerima mereka namun keterbatasan bahasa membuat mereka kesulitan di masa awal-awal kedatangan. Bahkan mereka mati pun hanya dikubur sembarang saja. Saya jadi penasaran, saya minta diantar ke keluarga yang masih punya silsilah orang Vietnam namun saat itu orangnya sedang tidak di tempat. Oleh karena itu, saya memilih melacak kubur-kubur yang masih tersisa maka seorang kakek yang tak fasih bahasa Indonesia ini mengantar saya. Menyusuri rumput-rumput yang tinggi sampai dia membelah pepohonan dengan goloknya, si kakek menunjukkan bekas-bekas makam imigran Vietnam.
Pencarian ini akhirnya dihentikan karena memutuskan beristirahat dan meliput kembali malam hari. Kita bakalan diajak untuk berburu kepiting di bibir pantai saat air surut. Malamnya, dengan badan yang masih belum fit, saya terpaksa ikut tim saya berburu kepiting atau rajungan ya. Jalanan menuju ke sana benar-benar gelap sampai saya merinding sendiri tapi orang-orang di sini sepertinya sudah akrab dengan gelap karena tiap  siang mereka listrik mereka mati, ya listriknya belum 24 jam.
Teman-teman saya yang sudah sampai dulu lagi sibuk mengubek-ngubek pasir. Si kepiting ini memang bersembunyi di pasir jadi kita harus jeli benar mana yang ada kepitingnya pakai senter. Saya gak lama di sini karena badan saya sudah semakin minta istirahat plus saat itu kaki saya yang pakai sendal ala kadarnya nyemplung di pasir ini terasa berat. Yaudah akhirnya, saya minta pulang duluan. Kadang-kadang saya sebagai wanita ga bisa mengimbangi energi laki-laki yang bisa tidur larut bangun dini hari.
Apalagi besok paginya kami harus ke Sekatung, wah ini nih yang paling keren karena kita lihat langsung gimana pengamanan perbatasan yang ternyata jauh dari ekspektasi bahkan TNI saya buat nangis. Duh penasaran? tungguin cerita selanjutnya di