Salah satu bank lagi-lagi memakai jasa kita untuk membantu promosi program pemberdayaan mereka. Sebenarnya ada beberapa tempat yang dituju, tapi kebetulan saya mendapat lokasi di perbatasan  Rawajitu Lampung, tepatnya di Desa Bumi Mandira, Kecamatan Sungai Manan, Ogan Komering Ilir yang masuk ke dalam provinsi Sumatera Selatan.
Nah, di sini usut punya usut dulu di zaman Soeharto pernah menjadi lumbung udang namun setelah reformasi, lokasi yang merupakan kompleks petambak udang menjadi buyar dan para petambak kini berusaha sendiri-sendiri alias perorangan. Mengais sisa kejayaan sebagai petambak udang.
Saya berangkat bersama beberapa teman video dan rekan kantor. Dari Jakarta rupanya perlu usaha ekstra mencapai tempat ini. Paling nyebelinnya dalam dinas kali ini saya banyakan nunggu daripada beraktivitas. Perjalanan dari Lampung menuju ke sana pun parah jalannya. Ada beberapa titik jalan yang membuat kita terpental-pental dari mobil saking parahnya. Sebab menunggu ga jelas ini, membuat kita sampai sore di kantor cabang mereka, belum lagi harus menuju Rawajitu yang ditempuh pake boat.
Akhirnya setelah mati gaya menunggu, kami dapat juga motor boat untuk ke sana saat hari semakin gelap. Perasaan naik boat malam-malam dengan sungai luas begitu rasanya wow banget. Plus kami melewati rumah-rumah apung penduduk yang masih tradisional. Ini sungai loh tapi besar banget dan tenang, rupanya saya dibisikin kalau di sini ada buayanya. Ah sial. Padahal ini tangan udah mau nyelup-nyelup kalau tiba-tiba ilang gimana ya kan?
Jadi malam itu di hari pertama kita cuma tidur, sekaligus merancang ke mana kita akan melaju besok. Di hari pertama kita menuju ke petambak udang yang nanti malam akan panen nih. Ada 2 petambak yang rencana kami temui hari ini dan kesemuanya mempunyai berhekare-hektare kolam tambak udang. Pertama, saya menuju ke tambak milik Pak Edy yang rumahnya sebenarnya mirip seperti bedeng2 tapi ternyata punya tv besar dan kulkas 2 pintu. Jangan salah, para petambak ini kaya-kaya bahkan sekalinya panen mereka bisa dapat ratusan juga. Saya pun menyelami bagaimana hidup para petambak ini, termasuk cara jadi petambak. Seperjalanan pulang liputan saya dan teman-teman langsung kepikiran, enak juga ya jadi petambak udang ya.
Kami tidur lebih cepat, karena tengah malam nanti kami harus ikut panen udang milik Pak Edy. Saat alarm berbunyi gak ada yang ngang ngong ngang ngong semua langsung sigap menaiki perahu. Kami cuma punya senter kecil untuk penerangan dan tentu saja sungai gelap gulita. Malam yang cuma ditemenani suara jangkrik itu mendadak heboh karena kita gak mau ketiduran dan mengusir rasa takut makanya ngobrol ngalor ngidul sampai ngomongin buaya yang konon sering nongol.
Eh beneran dong, si buaya nongol beneran. Semua langsung sigap menyiapkan kamera. Bukannya takut dan cepet-cepet lari malah perahu mendekati buaya yang lagi di pinggir sungai sambil menganga. Emang kocak nih temen-temen saya. Setelah si buaya merasa terganggu dan nyelup kita pun langsung ngebut lagi karena takut dikejar si buaya juga hahaha. Reaksinya bener-bener mirip orang kota yang lagi lihat sesuatu yang aneh dan baru sadar itu bahaya setelah foto-foto, emang gila ya.
Setelah adrenalin buaya mereda kami sampai di lokasi langsung tim video gercep begitu juga saya yang langung siap sama senjata kamera dan rekorder. Panen ini termasuk panen raya karena melibatkan puluhan orang untuk mengeruk dua kolam milik Pak Edy. Lampu tembak sudah menyala terang dan mengeruk hasil udang 3 bulan miliknya. Ada distributor dan perusahaan yang ikutan juga mereka mengukur panjang udang-udang ini dan juga mengecek kulit dsb sampai di nyatakan ini bagus untuk perusahaan. Sementara yang dianggap masih kecil disisihkan lalu yang udah oke langsung dimasukan ke bak yang berisi air oksigen.