Sebagai orang ibukota, saya pun menyerah diajak kemana saja oleh si tour guide Rian yang diketahui trackrecord-nya sudah menganter tamu ke mana saja.Â
Maka sehabis dari Wae Rebo tengah hari kami langsung diantar ke Bajawa. Nah, dari Wae Rebo ke Bajawa itu lumayan panjang perjalanannya guys. Jadi kudu sabar dan tidur, nyemil, makan aja terus.
Yang unik dari perjalanan kami dari Wae Rebo ke Bajawa itu kudu hati-hati walau jalanan sudah mulus tapi tetap saja banyak jebakan. Bukan paku atau orang jahat, tapi yang jadi jebakan itu si anjing-anjing yang pada suka gegoleran di tengah jalan.
Jadi kadang-kadang kita ngerem mendadak karena si anjing tiba-tiba nongol trus kucluk kucluk udah aja dia tiduran. Eh buset nyebelin banget.
Perjalanan ke Bajawa juga kita dikagetkan lagi sama hujan yang tiba-tiba membuat semua kabut pada turun dan gelap.Â
Wah apa-apaan nih padahal saat itu masih jam 2 siang. Seakan-akan menemukan daerah yang bener-bener bikin syok dan suprise dalam waktu yang bersamaan. Alhasil mulut kita gak berhenti menganga sementara Rian semakin fokus dan serius menyetir.
Akhirnya hampir sore kami sudah sampai di Desa Bena. Di kelilingi hutan bambu dan di dasar gunung Inerie, desa ini ada. Cukup sepi dibandingkan dengan Desa Wae Rebo.Â
Maka kami masuk dan kami pun bingung karena gak ada harga tiketnya. Malah kami diberikan seledang tenun sebagai bukti kami adalah pengunjung.
Trus kami disuruh mengisi buku tamu, bahkan di gubuk penyambutan tamu ini pun tampak begitu sepi. Saya jadi bingung sendiri. Sebab saya gak tahu ini sejarahnya gimana dan hasilnya ya dari google.Â