Pagi-pagi tenggorokan saya sudah gak nyaman, tapi dasar saya, di saat itu juga saya abaikan. Saya terus memelototi bapak-bapak yang sedang panen buah pala. Kepala saya tak berhenti mendangak melihat si bapak nangkring dipohon. Lalu pala yang berkulit buah coklat pun berjatuhan.
Si bapak langsung memotong-motong dan memilah mana pala yang bisa digunakan untuk kemudian diolah menjadi berbagai jenis olahan. Salah satunya, wine pala atau arak pala. Huwaw, apa tuh. "Sama seperti wine biasanya. Aromanya kuat dengan rasa pahit, asam dan manis berpadu," kata teman saya, yang saya jadikan narsum berhubung saya sendiri gak bisa minum itu karena haram.
Tapi teman saya cerita lagi, kalau wine pala ini tingkat alkoholnya tinggi sehingga membuat dia sedikit oleng haha. Ya, emang bener begitu karena kadar alkoholnya sampai 14 persen hahaha. Sebenernya alat-alat yang dipakai ibu ini bener-bener sederhana, tapi rupanya si ibu dkk telah mendapat pelatihan langsung dari somelier asal Prancis. Keceh banget ya. Sementara itu badan saya mulai demam. Selepas ini kami kembali ke pantai untuk wawancara dengan sesepuh alias juru kunci Gunung Karangetang.
Dari mulutnya, beredar kabar kalau dulu gunung yang menjadi pusat Siau ini pernah dibaptis oleh penjajah Belanda yang sempat mampir untuk menenangkan sang gunung yang terus menerus menyemburkan guguran lava. Namun si gunung ini juga katanya kadang badmood hingga pada 1960, dia memuntahkan lavanya dan beberapa orang tewas.Â
Makanya badan vulkanologi pun langsung menetapkan jarak aman pemantauan gunung istimewa ini. Bagi para wisatawan yang pertama kali datang, juga pasti bingung dimana-mana banyak sekali papan peringatan kalau tempat ini adalah arah aliran lava. hmm...Dan kami pun kadang-kadang menemukan sisa-sisa jalan yang tergilas panasnya lava Karangetang.
Semua wawacara di pantai ini dilakukan teman saya, karena di pantai ini saya mendadak tak kuat lagi menahan demam dan panas tubuh serupa lava gunung Karangetang. Hasilnya habis makan siang saya terlelap tidur ditemani angin sepoi-sepoi yang membelai saya dengan lembut.Â
Malamnya pun begitu saya tak bisa lagi keluar karena tubuh sudah tak bisa diajak kompromi. Yang saya lakukan cuma tidur dan minum parasetamol  untuk membuat saya bertahan dari demam saya sedikit lagi hingga Jakarta. Lama-lama saya tidak bisa menelan apapun karena langit-langit mulut saya sudah demikian bengkak. Jadi minum susu aja kerjanya.
Siang ini kami bersiap pulang ke Manado, dengan perahu yang alhamdulillah ramah diterpa ombak sementara sayup-sayup suara khotbah dari salah satu komika diperdengarkan. Saya menegak antimo untuk tidur lagi, saya coba bertahan lagi dengan panas yang sudah membuat saya menangis karena sudah keterlaluan. Sampai di Manado kami menginap di hotel bintang 5 dengan sederet makanan yang mengguggah selera saya pesan makanan berkuah mahal yang membangkitkan semangat makan. Tapi gagal, mulut saya tak mau menelan, berontak dan kesakitan.
Begitu terus hingga saya keesokan siang sampai Jakarta. Sudah tidak tahan dengan pemberontakan ini, saya langsung sigap ke rumah sakit sendirian di tanggal 17 agutus saat semua orang ramai dan riuh dengan semarak kemerdekaan. Rumah sakit yang sepi itu malah menyuruh saya untuk pindah rumah sakit karena dokter THT sedang libur.Â
Dengan demam yang meregang di dalam tubuh saya geret tubuh saya sendiri ke rs THT di jalan Proklamasi dengan harapan saya bisa mendapat kemerdekaan dari rasa sakit dan memplokamirkan kemerdekaan dari sakit. Eh, nyatanya dokter menyuruh saya langsung menginap dan harus diambil tindakan operasi dalam beberapa hari.