Ok, melanjutkan interview maraton tadi, saya sebenernya menaruh banyak harapan kisah humanis keluar dari mulut cucu Karel Sadsuitutbun yang juga namanya Karel ini. Apalagi yang kita tahu kan namanya kalah jauh tak seterkenal dari AH Nasution bahkan Ade Irma. Saya pikir saya bisa mendulang banyak cerita tapi nyatanya, bah! komunikasi saya sulit dan saya simpulkan dia tidak memahami kakeknya dengan baik. SAD suitubun. Dia cuma bilang hl-hal normatif tanpa ada cerita heroik yang tersisa. Apa orang tuanya gak dekat ya ama bapaknya. Jadi bingung.
Mungkin karena sejak muda Karel sudah ditugaskan di Jakarta dan berpisah dari keluarganya, jadi kurang banget keluarga mengenalnya. Apalagi Karel mungkin sulit kembali ke Kei semasa hidup karena jauhkan kei ini, ya bayangin aja dia cuma polisi ajudan, gajinya berapa sih. Mirisnya Kei menjadikan dia sebagai ikon, contohnya sebagai nama Bandara tapi apalah nama kalau kamu tak memahami pahlawan daerahmu sendiri. Hufft.
Dari sini kami diajak ke desa Dian Darat, nah desa ini hampir sama menjadikan wisata sebagai sarana perputaran uang. Beda dari Rumadian, Dian Darat saya lihat lebih rapi dan terkonsep. Saya suka meski wilayahnya jauh lebih kecil daripada Rumadian. Kalau kalian pernah main ke hutan bakau PIK, itu mirip Dian Darat namun lebih bagus lah ya, karena jalan membelah hutan bakau sudah dicat warna warni dan diberi plang nyeleneh lagi, dibangunkan juga rumah pohon yang membuat kita bisa lihat hutan bakau lebih puas.
Mereka juga berencana menjadikan Dian Darat sebagai hub atau pelabuhan mini untuk akses ke berbagai pulau di sekitar Kei. Bagus kan idenya meski kurang besar tempatnya. Sejauh ini saya cukup puas dengan ide dan pemikiran kaum muda di Kei Kecil ini dan optimis ini akan berkelanjutan.
Selepas interview dengan pengelola dan perwakilan desa di Dian Darat kami disuguhi pisang lagi hahahaha....ampe bosen. Untungngnya ini perut ga menjerit lama-lama karena gak lama kami diangkut buat makan-makan di balong, alias pemandian yang mirip pemancingan. hehehe. Di sini lah perut bisa berpesta pora karena kepiting gede-gede ludes dilahap. Alhamdulillah. Nah, dari cerita dan gambar-gambar jadi tahu kan bahkan visi dan misi pemuda nun jauh di sana gak kalah lho sama kita di perkotaan, jadi JANGAN SYOMBONG hahaha...
Cerita lainnya di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H