Hari ke-4 di Halmahera Selatan, kali ini tujuan kami adalah Pulau Madopolo dari Pulau Mandioli itu jaraknya lumayan jauh karena kita harus berangkat jam 12 malam lalu sampai di sana sekitar subuh. Pagi di Madopolo kami sudah excited menanti petualangan selanjutnya. Seakan tiap hari bakal ada cerita baru dan seru untuk masuk dalam kehidupan kami. Â
Jadwal kami hari ini adalah menuju ke tempat pembuatan kapal Pajeko dan juga ke ibu tengkulak pala. Tapi sebelum itu, kami menikmati pagi kami di Madopolo dengan menonton tawa riang anak-anak kecil berloncat dan berenang-renang di atas laut. Sambil melambaikan tangan, mereka tertawa lebar melihat kita yang sibuk memotret.Â
Masuk sedikit ke dalam pulau ada pasar dadakan. Sayur mayur setungkup tangan dijajakan di meja-meja. "Sedikit benar" pikir saya tapi ternyata harganya mahal benaran. Tomat kecill-kecil bisa sampai Rp 5 ribu. Tapi pemandangan ini kontras dengan plastik-plastik berisi ikan yang besar-besar. Belakangan saya tahu ikan ini harganya sunggguh mahal di Jakarta. Ikan-ikan itu adalah ikan kakaktua sampai ikan anjing (karena giginya kayak anjing katanya) mereka jual sekitar Rp 10-20 ribu di Jakarta itu Rp 90 ribu. Eh mahal banget.
Si ibu tampak tersenyum-senyum saat diwawancara. Ya, siapa yang gak senang menceritakan kesuksesan sampai bisa buat rumah yang lumayan besar untuk ukuran pulau ini. Saya pun menyadari betapa bank begitu penting agar roda perekonomian terus berputar.Â
Dulu tanpa bank kapal ini, mereka membawa duit segepok-gepok dengan nilai sampai puluhan juta dalam kantong kresek untuk disetor ke bank. Setornya pun bukan tinggal ngesod, tapi harus bertarung sama ombak-ombak ganas pake kapal kayu yang kalau jalan bunyinya gretek gretek sembari sempoyongan. Kebayang dong gimana sulitnya.
Senyum cerah si ibu mendadak pudar, saat saya memaksanya untuk mengingat kembali kesusahan itu. Ternyata dirinya sering kehilangan puluhan juta gegara perihal bank ini.Â
Dulu karena tak bisa meninggalkan pulau, si ibu sering mengambil uang atau menyetor uang dengan menitip kapal penumpang. Ditaro saja uang puluhan juta itu bagaikan tas-tas berisi baju-baju seperti biasanya. Makanya suka hilang, bahkan banyak juga yang tak kembali sama sekali. Duh! Dengan suara bergetar dia menyatakan diri ikhlas akan kejadian pilu itu. Saya jadi sedih.
Tanpa tedeng aling-aling, si bapak mampir ke rumah salah satu nasabahnya, trus pinjem motor gak pake lama. Udah kek minjem motor ama saudara. Wah emang nih, pegawai bank di daerah udah sedemikian akrab sama penduduk setempat, beda banget sama yang di kota besar dengan segala kekakuaannya. Kami pun membelah deretan pohon pala yang saya perhatikan benar-benar setelah kami melakukan wawancara.
Kami tiba di tempat pembuatan pajeko yang tidak besar tapi perahu ini lumayan besar. Pertama kali dengar pajeko bener-bener berasa unik, ternyata memang unik karena bukan terbuat dari kayu. Dengan logat yang kental dan jawaban yang sepotong-potong, bapak ini benar-benar sulit untuk digali ceritanya. Bahkan perlu lebih dari setengah jam baru saya bisa memancing dia bercerita yang bikin hati saya bagai hanyut terbawa pajeko.
Saya selalu senang mendengar cerita mereka, para narasumber saya. Khususnya untuk hal-hal yang bisa menyentuh hati. Saya butuh cerita perjuangan mereka untuk diestafetkan ke banyak orang melalui tulisan saya. Dengan demikian, bukan cuma saya yang bisa belajar dari mereka tapi satu Indonesia juga, dan bisa sama-sama saling merasakan. Cheers. Videonya nih. Cerita lainnya di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H