Matahari sudah semakin tinggi, selepas saya menziarahi sekaligus meliput sejarah Sunan Gunung Jati, makin terasa ransel saya semakin berat. Ya sejak pagi buta belum satu bulir nasipun belum masuk ke perut. Akhirnya saya menuju pusat kota Cirebon yang dekat dengan alun-alun dan pasar. Di situ ada berbagai macam hotel yang barang tentu harganya di bawah Rp 500 ribu. Benar saja saya memilih hotel dekat dengan pusat perbelanjaan Yogya dengan harga miring sekitar Rp 200 ribuan dengan TV, AC, air hangat dan kamar yang super nyaman. Alhamdulillah.
Di atas mal Yogya saya mencoba Empal Gentong yang sebenernya enggak cocok makan di saat panas terik hahahaa.... tapi karena saya harus menulis tentang kuliner Cirebon maka jadilah saya makan empal gentong. Kebayang keringetnya jadi dua kali lipat hahaha....Rasa empal gentong di dalam mal benar-benar rasa yang amat standar. Mungkin lain kali jangan makan di dalam mal lebih baik di pinggir jalan atau kedai yang emang punya menu empal gentong spesial.
Hari menjelang sore, saya berpikir masih mungkinkah untuk menuju Keraton Kesepuhan Cirebon. Dari hasil tanya-tanya tukang becak yang berbicara bahasa campuran Sunda dan Tegal ini disimpulkan bahwa masih sempat saya mengunjunginya.Â
Awalnya sebagai bahan berita saya ikut ke rombongan anak sekolah yang sedang berkeliling diantar guide-nya. Kemudian karena terlalu enggak fokus akhirnya saya request untuk di-guide sendiri. Di dalam sana terdapat berbagai peninggalan Sunan Gunung Jati dan para keturunannya.Â
Ada kereta kuda sampai sumur yang kerap di datangi warga untuk meminta berkah serta jodoh. Awalnya saya enggak suka hal yang berbau mistis begitu tapi karena desakan si bapak guide yang ngakunya juga sebagai keturunan sang sultan, akhirnya saya mau cuci muka katanya supaya dapat jodoh. Hmmmm.
Di dekat sumur ada suami istri yang membawa anaknya untuk dimandikan dengan air sumur itu. Katanya si ibu selalu bermimpi ke sumur ini waktu dia hamil anaknya. Akhinya setelah tertunda beberapa tahun, untuk memenuhi hajatnya dia bawalah anak itu ke sumur ini untuk dimandikan serta didoakan agar menjadi anak yang berbakti. Anak yang masih kecil rupanya enggak suka sama aroma mistis di sumur, mungkin dia sama seperti saya. Jiwa polosnya merasakan dan dia pun meronta-ronta menangis, tapi sang ibu kekeuh akan kepercayaanya diguyurnya anak itu tanpa ampun. Byur byur. Kasihan yak.Â
Memang warga Cirebon mayoritas belum lepas dari adat istiadat dan kepercayaan yang berbau mistis menurut saya. Sampai-sampai saya menemukan fenomena di Cirebon ini banyak orang gila berkeliaran, hampir setiap 100 m, pasti ketemu orang gila yang menakutkan. Dugaan sih pasti karena ngilmu tapi enggak kuat. Itu dugaan ya.
Oke balik lagi ke keraton, setelah ngalor ngidul bertanya sejarah tentang Keraton kesepuhan Cirebon ini ternyata ada beberapa tempat, yang diyakini tempat semedi Sunan Gunung Jati, yang tidak memperbolehkan wanita masuk ke dalamnya. Termasuk saya, penasaran saya ngintip2 tapi enggak boleh juga. Si guide bilang dulu Sunan memperlakukan istana ini layaknya pesantren yang memisahkan putera dan putri.Â
Setelah sudah cukup puas dengan materi wawancara saya, saya pun pamit. Saya berpikir beragam informasi yang diberikan kepada saya gratis secara saya pun pasti membantunya memasarkan keraton ini juga nantinya. Ternyata saja dimintai tarif yang lumayan besar. Saya syok apalagi saya tidak berpikir akan ditodong tarif begitu.Â
Dan kejadian ini akan terus berlangsung keesokan harinya. Bahkan nanti di makan Sunan Kalijaga saya ditunggu puluhan warga untuk dimintai uang. Gila! mereka pikir orang Jakarta bandar uang, walaupun ngeri  juga mereka sebal lalu pakai mistis-mistis tertentu ke gue. hiiiiii.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H