Mohon tunggu...
Dian Widyaningtyas
Dian Widyaningtyas Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Ordinary women, abdi negara, pelayan masyarakat, blogger, business owner.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berdamai dengan Keadaan

12 April 2010   06:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Untuk kesekian kalinya kami menghabiskan waktu di gedung yang megah ini. Anak-anak langsung berhambur ke salah satu sudut ruangan. Banyak mainan yang disediakan untuk pengunjung anak-anak. Sedangkan kami menuju ke ruang laboratorium. Ya…gedung megah ini bukanlah hotel tempat kami menghabiskan waktu saat weekend, bukan pula mall tempat kami belanja belanji. Gedung ini adalah rumah sakit yang menjadi sangat akrab dengan kami sekeluarga. Sebulan sekali kami pasti mengunjunginya. Biasanya aku sangat ilfil dengan rumah sakit, karena bau obatnya yang bikin perutku mual dan perasaanku gak enak. Tapi itu tidak terjadi di rumah sakit langganan kami.

Di depan ruang lab kusebutkan nama suamiku berikut dokter yang menanganinya. Dari layar komputer dia dah tau apa yang harus dilakukannya. Proses di lab tidak memakan banyak waktu. Pelayanannya sangat memuaskan. Bahkan sering pihak rumah sakit yang mengingatkan jadwal kontrol suami. Ya…kami dah akrab dengan sebagian petugas rumah sakit.

Selesai di bagian lab, ada seorang suster yang menghampiri kami di ruang tunggu.
“Ibu, dokter radiologi sudah menunggu” ucapnya ramah tanpa dibuat-buat.
“Terimakasih ya mbak” kataku tulus.
Kami memasuki ruang radiologi yang tertata rapi. Ruangannya tidak terlalu luas tapi mebelnya bisa multi fungsi. Aku kagum dengan arsiteknya. Ah….aku hanya mengalihkan perhatian dari hatiku yang galau tiap memasuki ruangan radiologi. Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa kami bakalan akrab dengan semua ini. Kami memasuki ruang USG. Suamiku mulai menjalani pemeriksaan. Aku bisa melihat organ dalam suami lewat layar kecil di depanku. Aku tidak tahu organ yang mana itu. Bagiku…tampilan di layar itu bagaikan lukisan abstrak yang tak pernah bisa kuterjemahkan. Aku tidak suka lukisan abstrak. Aku juga tidak suka berada di ruangan ini dan melihat lukisan abstrak karya dokter radiologi suamiku. Kalo lukisan abstrak karya dokter kandunganku sih aku ngerti. Aku sangat bisa menterjemahkannya. Bahkan aku selalu merindukan untuk melihat lukisannya sesering mungkin saat aku hamil dulu.

Cursor berhenti pada beberapa titik, dan di layar mulai muncul keterangan bagian apa itu. Walo pake bahasa kedokteran, aku paham maksudnya. Cukup lama pemeriksaannya. Dokternya berusaha untuk teliti, menggerak2kan alat tersebut perlahan-lahan. Cursor di layar monitor mengikuti gerakan alat yang berada di tangan dokter. Setengah jam lebih kami habiskan waktu di ruang radiologi. Bagiku setengah jam di ruangan ini begitu panjang dan menyiksa perasaanku. Ya melihat apa yang membuat suamiku menderita sangatlah menyiksaku. Karena aku tidak bisa berbuat apa-apa untuknya.

Akhirnya dokter menyudahi pemeriksaannya dan mempersilakan kami menunggu sebentar. Sepuluh menit kemudian suster menyerahkan album kecil beserta satu amplop berisi hasil pemeriksaan dari dokter radiologi. Album itu berisi print out lukisan abstrak yang tadi kulihat di layar monitor. Kami berjalan menuju lab untuk mengambil hasil lab. Dua amplop itu kubuka. Aku selalu penasaran dengan isi amplop-amplop itu. Amplop dari dokter radiologi berisi tulisan- tulisan dalam bahasa kedokteran yang sudah kupahami. Ya…sudah sejak lama aku mencari referensi atas penyakit suamiku. Jauh sebelum dokter memberikan vonisnya. Vonis dokter hanyalah penegasan atas perkiraanku sebelumnya. Amplop dari lab berisi angka2 yang sebagian berwarna merah. Aku bisa menterjemah angka-angkanya. Hm…..alhamdulillah ada kemajuan walo dikiiiiitt banget.

Dokter ahli penyakit dalam sudah menunggu kami. Ada pasien yang merasa tergeser, karena dia dah nunggu duluan. Entah apa yang dikatakan suster pada pasien tersebut, akhirnya protesnya tidak kudengar lagi. Sebenarnya aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Tapi rengekan bosan anak-anak di area bermain membuatku tidak punya banyak pilihan. Kuserahkan semua hasil lab dan radiologi ke dokter. Kemudian dokter menelepon dokter radiologi, mereka diskusi dengan menggunakan bahasa kedokteran….yang juga kupahami. Dokter mempersilakan suami untuk dicek tekanan darah dan sebagainya.
“Bagus” kata dokter
“Ada kemajuan, Pak, walo sedikit. Tapi memang perlu waktu” sambungnya
“Ada keluhan? Capek, pusing-pusing ato yang lain?” Tanyanya pada suamiku
“Nggak ada, Dok” jawab suamiku
“Masih rutin Jakarta – Surabaya tiap minggu?”
“Masih, Dok”
“Sebenarnya saya sangat tidak menyarankan Bapak melakukan perjalanan sesering itu, tapi sebisa mungkin dijaga supaya jangan sampe kecapekan”
“Baik, Dok”
“Makannya bener-bener dijaga ya Pak”
Sebenarnya ada satu pertanyaan yang dari dulu ingin kuucapkan. Tapi aku tidak sampai hati menanyakannya karena ada suami. Aku tidak ingin membuatnya makin sedih. Aku ingin bertanya berapa lama waktu kami, sebelum semuanya menjadi sangat buruk? Entah benar atau tidak, tapi selama ini dari referensi yang kubaca menyebutkan bahwa obat-obatan hanya bisa menahan progresivitas penyakit suamiku. Ah….semuanya kupasrahkan pada Alloh. Aku sepenuhnya sadar bahwa kematian adalah suatu yang pasti bagi yang bernyawa.

Pemeriksaan selesai setelah dokter mengentry resep buat suamiku. Resepnya langsung link ke bagian farmasi. Banyak antrian di bagian farmasi. Sebagain besar pasien anak-anak. Pasti bakalan lama kalo nyiapin resep anak-anak. Biasanya harus dalam bentuk puyer dan pembuatan puyer makan waktu cukup lama. Sekira setengah jam kami menunggu sampai nama suami dipanggil. Petugas memberitahu junlah yang harus kami bayar. Beberapa lembar uang ratusan berpindah tangan. Tak lama kemudian, obat diserahkan kepada kami. It’s time to go home now.

Fuih….capek juga menjalani “ritual” bulanan ini. Entah berapa banyak uang kami berpindah ke kasir-kasir rumah sakit selama ini. Kami tidak pernah menghitungnya. Kenapa tidak pake asuransi? Kami mampu beli polis asuransi saat suami sudah dalam keadaan sakit. Tentu saja pihak asuransi menolak permohonan asuransi kami. Bagaimana dengan Askes? Sebagai PNS kami memilikinya. Tapi kerena prosedurnya menurut kami sangat njlimet dan tidak efisien, maka kami memutuskan untuk tidak menggunakan kartu berwarna kuning itu. Ya sudahlah dijalani saja semua ini dengan ikhlas sebagai ikhtiar mencari kesembuhan. Aku berusaha berdamai dengan penyakit suami, berdamai dengan banyaknya biaya yang harus kami keluarkan, berdamai dengan situasi yang kadang sulit. Ya…aku berusaha berdamai dengan keadaan supaya hati ini legowo menerima semua yang digariskan Alloh. Terlebih supaya aku tetap tegar berdiri dan senantiasa memberi support ke suami. Karena itu sangat dibutuhkan suami lebih dari obat-obatan yang diberikan dokter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun